Mohon tunggu...
Nadia Saraswati
Nadia Saraswati Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswi S-1 Akuntansi Universitas Tidar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Krisis Ekonomi Global Pasca Pandemi: Solusi, atau Masalah Baru?

5 Juni 2025   17:28 Diperbarui: 5 Juni 2025   17:28 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal Mula: Dunia Dipaksa Masuk Era Digital

Sejak COVID-19 muncul di akhir 2019, dunia jadi serba berubah. Bukan hanya soal kesehatan, tetapi ekonomi global juga kena imbas besar. Banyak bisnis tutup, orang dibatasi geraknya, dan akhirnya semua aktivitas dipindah ke dunia digital.

Digitalisasi yang tadinya berjalan lambat tiba-tiba harus ngebut. Sekolah, kerja, bahkan urusan pemerintah dipaksa online. Tapi setelah pandemi mulai mereda, muncul pertanyaan: Apakah digitalisasi ini solusi yang membantu, atau justru bikin masalah baru?

Ekonomi Mulai Bangkit, Tapi Belum Merata

Ekonomi dunia memang mulai pulih. IMF memperkirakan pertumbuhan global tahun 2025 naik menjadi 3,1%. Tapi sayangnya, tidak semua negara bisa bangkit dengan kecepatan yang sama. Negara-negara maju cepat pulih karena infrastrukturnya sudah canggih dan digital-ready. Sementara itu, negara berkembang masih harus berjuang --- akses internet masih terbatas, literasi digital rendah, dan teknologi belum merata.

Digitalisasi pun punya dua sisi: bisa mempercepat kemajuan, tapi juga bisa jadi boomerang, seperti meningkatnya pengangguran karena mesin dan teknologi menggantikan pekerjaan manusia, UMKM sulit bersaing, dan perusahaan besar makin mendominasi.

Teknologi Jadi Raja, Tapi Siapa yang Diuntungkan?

Selama pandemi, perusahaan teknologi besar seperti Amazon dan Microsoft untung besar. Di Indonesia, Tokopedia, Gojek, dan Shopee juga ikut naik daun karena semua orang pindah ke layanan online.

Tetapi ini tidak berlaku untuk semua. Menurut World Bank (2024), sekitar 40% UMKM di negara berkembang masih belum bisa masuk ke dunia digital. Penyebabnya? Kurang alat, tidak mempunyai skill digital, atau tidak mempunyai modal. Banyak yang akhirnya merugi bahkan tutup.

Kata Dr. Rina Agustina dari UI, "Transformasi digital itu bukan cuma soal teknologi, tapi juga soal keadilan akses dan kemampuan orang buat menggunakannya." Kalau tidak  aware dan hati-hati, digitalisasi bisa menciptakan "kelas sosial baru" yang lebih terpisah.

Otomatisasi: Peluang atau Ancaman Untuk Pekerja?

Satu hal lagi yang membuat khawatir: makin banyak pekerjaan manusia yang digantikan mesin atau AI. Pekerjaan yang monoton seperti input data, kasir, atau admin mulai digantikan sistem otomatis. Tapi pekerjaan baru di dunia digital justru butuh skill tinggi seperti coding, analisis data, atau desain sistem.

Laporan McKinsey (2023) menyebut sekitar 14% pekerjaan di dunia bisa hilang karena otomatisasi dalam 10 tahun ke depan---dan yang paling terdampak adalah negara berkembang. Jadi, tantangannya adalah: bagaimana menyiapkan SDM yang bisa ikut bersaing di dunia digital?

Indonesia Bergerak: Tetapi Masih Banyak PR

Pemerintah Indonesia cukup aktif mendorong digitalisasi. Targetnya adalah 30 juta UMKM bisa masuk ekosistem digital di tahun 2030. Beberapa program seperti pelatihan digital gratis, bantuan infrastruktur, dan cloud service sudah digulirkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun