Mohon tunggu...
Nadhifah Salsabila
Nadhifah Salsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa

ENFP

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dampak Media Sosial Lintas Usia Antara Perbandingan Sosial dan Rasa Syukur

18 Agustus 2025   13:51 Diperbarui: 18 Agustus 2025   13:51 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dewasa Tengah biasanya sudah mencapai titik stabil dalam fase kehidupan. Namun, media sosial tetap dapat memicu perbandingan, entah itu dari aspek status sosial, ekonomi, pencapaian teman sebaya, pencapaian anak teman, yang pada akhirnya juga dapat berdampak terhadap anaknya yang terus menerus dijadikan bahan perbandingan oleh orang tua mereka pada fase dewasa tengah ini, yang awalnya anak-anak mereka baik-baik saja, namun melihat perlakuan orang tuanya selalu merasa belum cukup, membuat anak-anaknya menjadi pribadi yang tidak puas dengan pencapaian mereka dan cenderung selalu merasa gagal menjadi anak karena tidak dapat membuat bangga orang tuanya, dan tak jarang pula hingga lupa pada pekerjaan utama menjadi keluarga yang utuh, jika ayah dapat lupa memberikan nafkah seutuhnya dan ibu dapat lupa dengan peran ibu yang memedulikan anaknya serta melakukan pekerjaan rumah. Padahal Allah telah memberikan nikmat yang cukup pada setiap keluarga, hanya saja memang sesuai dengan porsi syukur masing-masing.

5. Lansia (60+ Tahun)

Lansia yang aktif bermedia sosial bisa mengurangi rasa sepi dan tetap terhubung dengan sanak keluarga yang jauh. Namun mereka juga kerap merasa iri terhadap kondisi fisik orang lain yang lebih bugar, lebih memiliki body goals walaupun di usia mereka yang sudah tua ini. Selain itu, pencapaian cucu-cucu mereka juga dapat menjadi korbannya, yakni membandingkan antar cucu mereka dengan cucu orang lain. Karena mereka pada rentang usia ini, memiliki sifat tidak mau kalah meskipun usia mereka yang sudah lampau itu, harus tetap ada yang mereka banggakan untuk kepuasan hidup di dunia semata. Selain itu mereka juga lebih rentan percaya terhadap hoax. Di sisi lain, usia panjang iru sendiri adalah nikmat besar yang sering dilalaikan mereka.

Penguatan Teori

Fenomena lintas usia ini sejalan dengan Social Comparison Theory oleh Festinger (1954) yang menekankan bahwa manusia membandingkan dirinya dengan orang lain untuk mengetahui posisinya. Perbandingan dapat bersifat upward (membandingkan diri dengan yang lebih tinggi) dapat menimbulkan iri atau dengki, dan juga downward (membandingkan diri dengan yang lebih rendah) dapat menimbulkan kepuasan atau rasa sombong. Media sosial dapat memperkuat kedua bentuk perbandingan ini karena arus informasi berlangsung tanpa henti dan sering menampilkan citra diri ideal bukan realitas secara utuh dan nyata.

Selain itu, teori Cultivation dari George Gerbner juga relevan, yakni menyatakan bahwa paparan media sosial dalam jangka panjang dapat membentuk persepsi dunia, tidak peduli itu palsu ataupun nyata. Misalnya, seseorang yang terus menerus scrolling secara tidak langsung melihat unggahan gaya hidup mewah ataupun sekedar sindiran terhadap standar kehidupan saat ini, itu dapat diyakini sebagai kebahagiaan juga memikirkan standar kekayaan, sehingga menurunkan rasa syukur atas kondisi yang lebih sederhana saja sebenarnya sudah cukup.

Perspektif Islam: Menemukan Keseimbangan dengan Bersyukur

Islam telah memberi jawaban atas persoalan perbandingan sosial jni melalui konsep syukur. Allah berfirman dalam Q.S. Ibrahim ayat 7 yang berbunyi.

Artinya: "(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras."

Dalam ayat ini Allah swt kembali mengingatkan hamba-Nya untuk senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang telah dilimpahkan-Nya. Bila mereka melaksanakannya, maka nikmat itu akan ditambah lagi oleh-Nya. Sebaliknya, Allah juga mengingatkan kepada mereka yang mengingkari nikmat-Nya, dan tidak mau bersyukur bahwa Dia akan menimpakan azab-Nya yang sangat pedih kepada mereka. Mensyukuri rahmat Allah bisa dilakukan dengan berbagai cara. Pertama, dengan ucapan yang setulus hati; kedua, diiringi dengan perbuatan, yaitu menggunakan rahmat tersebut untuk tujuan yang diridai-Nya. Dalam kehidupan sehari-hari, dapat kita lihat bahwa orang-orang yang dermawan dan suka menginfakkan hartanya untuk kepentingan umum dan menolong orang, pada umumnya tak pernah jatuh miskin ataupun sengsara. Bahkan, rezekinya senantiasa bertambah, kekayaannya makin meningkat, dan hidupnya bahagia, dicintai serta dihormati dalam pergaulan. Sebaliknya, orang-orang kaya yang kikir, atau suka menggunakan kekayaannya untuk hal-hal yang tidak diridai Allah, seperti judi atau memungut riba, maka kekayaannya tidak bertambah, bahkan lekas menyusut. Di samping itu, ia senantiasa dibenci dan dikutuk orang banyak, dan di akhirat memperoleh hukuman yang berat.

Dalam konteks media sosial yang menjadi bahan perbandingan sosial, syukur menjadi filter yang menjaga hati agar tidak larut dalam perbandingan. Alangkah indahnya bila; seorang remaja bersyukur akan melihat kelebihan dirinya sebagai amanah, bukan merasa minder karena fisiknya berbeda dengan idolanya; Seorang dewasa muda yang bersyukur akan fokus mengembangkan karirnya tanpa terjebak iri dengan kesuksesan temannya; demikian pula dengan seorang dewasa tengah dan lansia akan lebih tenang hidupnya pula terjamin rezekinya jika menyadari bahwa nikmat anak, pengalaman, dan kesehatan serta usia yang panjang ialah karunia Allah yang tak terhingga nilainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun