Â
      Â
Setetes air mata itu, meskipun cepat dihapus, tak mampu menggoyahkan tekadnya. Sultana Ayesha, mata tajamnya mengamati, hanya sedikit mengerutkan dahi sebuah reaksi yang tak terbaca. Zahra, menyadari tatapan itu, tak menunjukkan keraguan. Ia menarik napas dalam-dalam, bukan karena kelemahan, melainkan untuk mengumpulkan kekuatan.
Â
"Ibu," Zahra memulai, suaranya tenang, namun berwibawa, "Istana ini... luas, namun terasa sempit. Kekuasaan ini... berat, namun aku tak akan goyah."
Â
Ayesha, tanpa menjawab, hanya menatapnya dengan tajam. Zahra melanjutkan, suaranya tak menunjukkan keraguan, "Kesendirian bukanlah kelemahan, Ibu. Ia adalah harga yang harus dibayar untuk memimpin. Aku mengerti itu."
Â
"Mengerti, namun tak berarti kau harus menerimanya dengan pasrah," Ayesha akhirnya angkat bicara, suaranya serak namun tegas. "Kekuasaan bukanlah penjara, Zahra. Ia adalah alat. Gunakanlah dengan bijak."
Â
Zahra mengangguk, matanya tak menunjukkan keraguan. "Aku tahu, Ibu. Aku tak akan membiarkan kesendirian ini melumpuhkan saya. Aku akan menggunakannya sebagai kekuatan."