Mohon tunggu...
Fidel Dapati Giawa
Fidel Dapati Giawa Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Nulis dangkadang, tergantung mood

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Politik Para Bocah

21 Juli 2011   15:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:29 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tadi siang anakku dikerubuti teman-temannya saat puang sekolah. Aku dengar mereka merengek minta sesuatu dari anakku. Mereka menawarkan diri: "akulah Ben... aku aja ya", kata mereka saling menimpali. Mereka saling berdesak hingga ke pintu pagar sekolah, dan terus menawarkan diri kepada anakku.

Saat aku tanya apa yang teman-temannya minta, anakku tak mau jawab. Dia bilang: "nanti aja, masih rahasia". Aku penasaran, soalnya tadi siang aku liat teman-temannya baik laki maupun perempuan sangat antusias menawarkan diri. Aku terus mencoba mengorek rahasia bocah kelas empat SD itu. Baru menjelang tidur malam ini aku berhasil mengorek rahasia itu, itu pun aku bilang bahwa aku pun punya rahasia. Maka kami pun saling bertukar informasi rahasia layaknya CIA dan KGB bertukar informasi nuklir.

Beruntunglah para pembaca Kompasiana malam ini yang bisa menyimak rahasia penting, tentang kehidupan dan pertumbuhan. Inilah rahasia itu (dengan segala kerendahan hati, mohon jangan dibaca keras-keras karena ini bersifat rahasia):

Wali kelas anakku memintanya untuk mencatat sepuluh orang teman-teman sekelasnya (terdiri dari lima orang pria dan lima orang perempuan) yang akan dijadikan sebagai dokter kecil. Tugas dokter kecil ini adalah memeriksa kebersihan, kuku, rambut dan kerapihan teman-teman sekelas dan kalau ada yang tidak beres harus dilaporkan kepada Wali Kelas. Rupanya teman-teman anakku banyak yang berminat dengan 'jabatan' itu. Makanya ketika pulang, mereka dengan antusias menawarkan diri kepada anakku.

"Anak-anak, emang senang jadi dokter" pikirku. Wajarlah mereka berebut. Eiiit, tunggu dulu... Ternyata mereka tak hanya menawarkan diri. Menurut anakku, ada juga yang menawarkan suap kepadanya layaknya para rekanan meloby pejabat sebuah instansi supaya dimenangkan tender. Menurut cerita anakku, ada yang menawarkan uang seribu rupiah kalau nanti namanya masuk dalam daftar dokter kecil. Ada juga yang menawarkan lima ribu rupiah. Walaaaaah, dari kecil udah kenal suap menyuap nih...

Ada juga yang merayu ala politisi. "Ben, aku ya. Kan dulu waktu milih ketua kelas aku milih kamu" kata anakku menirukan rayuan politis temannya. Aku tak sabar dan menanyakan bagaimana cara pemilihan ketua kelas minggu lalu. Setelah anakku menjelaskan mekanisme pemilihan ketua kelas, aku tanya apakah temannya benar memilih dia. "Entahlah, aku juga ga percaya", kata anakku sambil tersenyum memandang langit-langit kamar.

Lucu bercampur prihatin dalam batinku mendengar rahasia anakku. Tak sabar, aku beranya: "kapan daftar nama itu harus diberikan kepada bu guru d".  "Besok", kata anakku. "Siapa yang kamu memilih diantara teman-temanmu?" tanyaku. "Lihat aja pas baris besok pagi, siapa yang diam, ga banyak ngomong saat baris dia yang kupilih", katanya mantap. Lega hatiku.

Mereka, para bocah cilik itu, apa yang ada di benak mereka? Apakah mereka sedang berupaya merealisasikan imajinasi mereka menjadi dokter, ataukah mereka sedang mengincar kekuasaan? Saya tak bisa tebak, biarlah para psikolog yang menjawab ini. Dari cerita ini saya cuma sempat berpikir, ternyata hasrat mencapai keinginan dan naluri persekongkolan itu bisa jadi sesuatu yang alamiah. Manusia telah berpolitik sejak kecil.

Lalu apa yang salah dengan Nazar, Anas, Andi Nurpati, dan para tersangka koruptor yang pada dasarnya adalah ingin mencapai tujuan atau melampiaskan keinginannya? Bukankah itu semua alamiah?

Oh... demi Jupiter .... kita ini hidup dengan akal budi, tidak hanya mengikuti naluri alamiah. Semakin kita dewasa semakin diuji menggunakan akal budi kita. Kita bisa menimbang dan bisa menolak atau menerima sebuah tawaran, apakah itu melanggar batas-batas hukum maupun moral. Di luar sana ada banyak manusia lain yang saling berinteraksi sehingga terbentuklah tatanan hukum dan moral dimana kita mesti mematuhinya. Kalau hanya mengikuti pertimbangan kepentingan dan nafsu (serakah), kita tak lebih mulia dari kerbau yang bisa memilah dan memilih mana rumput yang mesti ia kunyah.

Demikianlah, sekilas catatan malam ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun