Kedudukan sejajar ini menunjukkan pengakuan negara terhadap eksistensi hukum Islam sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional. Peradilan Agama menjalankan fungsi yudisial di bidang hukum perdata Islam, dan secara kelembagaan berada di bawah Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi peradilan di Indonesia. Dengan demikian, Peradilan Agama tidak hanya berfungsi sebagai lembaga keagamaan, tetapi juga sebagai instrumen negara dalam mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat muslim.
Pemisahan kekuasaan kehakiman dari cabang kekuasaan lain (eksekutif dan legislatif) dimaksudkan agar lembaga peradilan dapat menjalankan tugasnya secara mandiri dan bebas dari intervensi politik. Prinsip independensi peradilan inilah yang menjamin keadilan substantif bagi para pencari keadilan. Dalam konteks Peradilan Agama, prinsip ini menjadi penting karena lembaga tersebut sering berhadapan dengan persoalan keagamaan yang sensitif, seperti perceraian, waris, dan ekonomi syariah, yang membutuhkan keputusan yang adil dan objektif.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa semua lembaga peradilan, termasuk Peradilan Agama, memiliki tanggung jawab untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan nilai-nilai moral, agama, dan kemanusiaan. Oleh karena itu, hakim peradilan agama tidak hanya dituntut menguasai hukum positif, tetapi juga memahami aspek etika dan spiritual dalam memutus perkara.
B. Peradilan Agama sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, Peradilan Agama memiliki kewenangan yang diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Kewenangan ini mencakup penyelesaian perkara-perkara di bidang hukum Islam, antara lain: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.
Dengan perluasan kewenangan tersebut, Peradilan Agama tidak lagi hanya menangani persoalan keluarga, tetapi juga berperan dalam penguatan sistem ekonomi syariah nasional. Perkara-perkara seperti sengketa perbankan syariah, asuransi syariah, dan pembiayaan syariah kini menjadi bagian dari kompetensi absolut peradilan agama. Hal ini memperlihatkan bahwa hukum Islam tidak hanya mengatur kehidupan ibadah, tetapi juga aspek ekonomi dan sosial masyarakat.
Dalam pelaksanaan fungsi kehakiman, Peradilan Agama mengedepankan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana diatur dalam hukum acara peradilan. Setiap perkara diawali dengan pendaftaran, pemeriksaan administratif, mediasi, persidangan, pembuktian, hingga pembacaan putusan. Hakim dituntut untuk menjunjung tinggi asas keadilan substantif, bukan hanya keadilan prosedural. Oleh karena itu, setiap keputusan pengadilan agama harus mencerminkan nilai kemaslahatan dan keseimbangan antara hukum positif dan nilai-nilai syariah.
Secara kelembagaan, struktur Peradilan Agama terdiri atas Pengadilan Agama (tingkat pertama) dan Pengadilan Tinggi Agama (tingkat banding), yang keduanya berada di bawah pembinaan Mahkamah Agung. Selain itu, dalam hal perkara kasasi dan peninjauan kembali, Mahkamah Agung memiliki kewenangan akhir. Sistem ini menjamin adanya kesinambungan hukum dan pengawasan terhadap pelaksanaan peradilan.
Dengan struktur dan kewenangan yang lengkap, Peradilan Agama menjadi bukti konkret bagaimana hukum Islam beradaptasi dengan sistem hukum nasional tanpa kehilangan identitas dan nilai-nilai normatifnya. Lembaga ini berfungsi bukan hanya sebagai pelaksana hukum, tetapi juga sebagai penjaga moralitas hukum yang berlandaskan pada keadilan, kemaslahatan, dan nilai-nilai ilahiah.
KESIMPULAN
Buku Peradilan Agama di Indonesia karya Prof. Dr. H. Pagar, M.Ag. menggambarkan perjalanan panjang dan perkembangan sistem peradilan Islam di Indonesia dari masa klasik hingga modern. Penulis menjelaskan secara sistematis bagaimana peradilan agama lahir dari kebutuhan masyarakat muslim terhadap lembaga penyelesaian sengketa berbasis syariah. Seiring berjalannya waktu, lembaga ini berhasil menyesuaikan diri dengan perubahan sosial, politik, dan hukum nasional tanpa kehilangan identitas keislamannya.