Mohon tunggu...
Nabila Larasati
Nabila Larasati Mohon Tunggu... mahasiswa

saya sedang berkuliah di salah satu universitas negeri dengan jurusan komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perjuangan Remaja Mencintai Dirinya

16 Oktober 2025   10:07 Diperbarui: 16 Oktober 2025   10:07 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak berusia 15 tahun, omongan orang selalu menjadi sumber kecemasan Silvy (nama samaran, 20). Ia masih ingat betul, salah satu komentar sinis yang ia dapat dari seorang kerabat disuatu acara "Pahamu mirip kaki sapi, jangan makan terus." Kalimat itu, diucapkan dengan tanpa rasa takut menyakiti.

"Sejak saat itu, saya jadi tidak percaya diri. Saya juga jadi takut untuk bertemu banyak orang, takut-takut ada yang berbicara seperti itu," tutur Silvy lirih, suaranya tercekat.

Kisah Silvy adalah potret bisu dari jutaan remaja yang terjebak dalam lingkaran body shaming (perundungan tubuh). Isu ini melampaui sekedar ejekan; ia adalah cerminan kegagalan sosial kita dalam menerima keberagaman tubuh, yang kini diperparah oleh derasnya aruh informasi di media digital.

Menurut dr. Yunias Setiawati, SpKJ(K), secara garis besar, kekerasan terbagi menjadi dua jenis yaitu kekerasan verbal (psikis) dan kekerasan fisik. Kekerasan fisik dapat menyebabkan bekas luka maupun memar (nampak) di tubuh korbannya, sedangkan kekerasan verbal dapat menyebabkan trauma psikis karena ucapan yang menyakitkan atau tidak menyenangkan, seperti mempermalukan di depan publik dan tentunya body shaming juga termasuk dalam bentuk kekerasan secara verbal (bullying), posesif (biasanya dalam relasi dengan pacar/suami istri), dan menyudutkan korban dalam permasalahan tertentu.

Beberapa faktor penyebab terjadinya body shaming terutama pada remaja yaitu ketidaksesuaian standar kecantikan ideal yang diterapkan masyarakat dengan penampilan diri dari individu, body shaming dianggap sebagai perilaku yang lumrah tanpa memiliki dampak negatif bagi korbannya dan pelaku tidak mengetahui dampak dari body shaming.

Inilah inti masalahnya: dalam budaya yang komunal, mengomentari penampilan fisik (baik dari teman maupun keluarga) seringkali dianggap sebagai "bercandaan" atau "bentuk perhatian." Padahal, bagi penerima komentar, hal itu dapat memicu trauma dan berujung pada kondisi yang lebih serius.

Dampak dari body shaming ini tidak hanya menjadi rendah diri. Bagi sebagian remaja, body shaming          bertahun-tahun berkembang menjadi masalah yang lebih serius, seperti gangguan citra tubuh, gangguan makan, kecenderungan self-harm.

Saat ini, Silvy masih berproses. Ia mencoba fokus pada apa yang dilakukan bukan bagaimana tubuhnya terlihat.

"Mungkin saya tidak akan pernah kurus seperti model, tapi saya bisa hidup dan merasa nyaman dengan diri saya sendiri. Itu sudah cukup," ucap Silvy.

Padahal, setiap orang memiliki bentuk tubuh dan metabolisme yang unik. Body shaming bukan hanya merusak kepercayaan diri seseorang, tapi juga menciptakan budaya yang tidak sehat di mana nilai seseorang diukur dari penampilannya, bukan dari kepribadian, kemampuan, atau kebaikannya.

Kini, berbagai kampanye mulai bermunculan. Tagar seperti #BodyPositivity dan #LoveYourself berusaha mendorong masyarakat untuk menerima dan mencintai tubuh apa adanya. Namun, perubahan tidak bisa terjadi hanya lewat kampanye daring. Dibutuhkan empati nyata dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari berhenti melontarkan komentar soal tubuh orang lain, sekecil apa pun itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun