Di balik semangat produktif tinggi yang melekat pada Generasi Z, ternyata tersembunyi kegelisahan yang tak banyak disadari “perasaan tidak pantas atas pencapaian diri sendiri” atau yang dikenal sebagai imposter syndrome.Dalam penelitian berjudul “Imposter Syndrome dalam Bayang-Bayang Hustle Culture: Analisis Perilaku Gen Z Surabaya dengan Pendekatan Pemodelan Struktural Berbasis Self-Discrepancy Theory” yang dilakukan oleh Nadinta Kasih Amalia Suryono, Nashwa Carista, Muhammad Daffa Bintang Setyawan, Nabila Zuhrotun Nasikhah, dan Vanisia Suci Ananda dari Universitas Airlangga, yang dibimbing oleh Dr. M. Fariz Fadillah Mardianto, S.Si., M.Si., ditemukan bahwa fenomena ini cukup mengkhawatirkan.
Hasil survei terhadap 400 Gen Z di Surabaya menunjukkan bahwa sebanyak 66% responden masuk kategori sering (frequently) mengalami imposter syndrome dan 12% berada pada kategori intens, artinya mereka hampir selalu merasa tidak cukup baik meskipun telah berprestasi. Analisis lebih lanjut mengungkap bahwa indikator imposter syndrome dengan skor tertinggi adalah attribution of luck, self-comparison, dan fear of being exposed. Fenomena ini semakin relevan dengan konteks kehidupan Gen Z saat ini yang hidup di tengah budaya hustle culture, budaya yang menilai nilai diri seseorang dari seberapa sibuk dan produktif ia terlihat.
Apa yang Benar-Benar Mempengaruhi Imposter Syndrome?
Berdasarkan analisis Structural Equation Modeling-Partial Least Squares (SEM-PLS), peneliti menemukan pola hubungan yang menarik antara berbagai faktor psikologis dan kecenderungan imposter syndrome pada Gen Z di Surabaya. Hasil menunjukkan bahwa self-compassion, self-esteem, dan self-efficacy menjadi faktor protektif imposter syndrome, sementara perfectionism justru menjadi faktor risiko. Menariknya, resilience awalnya tidak berpengaruh signifikan, namun menjadi penting ketika dimoderasi oleh hustle culture.
Temuan ini diperkuat oleh hasil wawancara mendalam dengan 10 partisipan Gen Z yang memiliki tingkat imposter tinggi. Mereka merasa keberhasilan hanya karena keberuntungan, selalu membandingkan diri, dan takut diketahui “tidak se-hebat itu”.
Seorang psikolog dari Unit Layanan Psikologi Universitas Airlangga yang diwawancarai oleh tim peneliti menjelaskan bahwa fenomena imposter syndrome pada Gen Z tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal, tetapi juga diperberat oleh tekanan eksternal, khususnya hustle culture. “Hustle culture itu kan faktor eksternal yang bisa memperberat kondisi internal seperti self-esteem dan lain lain tadi, untuk bisa menghasilkan kondisi yang namanya imposter syndrome” jelasnya.
Dari Data ke Aksi Nyata: Membangun Generasi yang “Cukup”
Sebagai tindak lanjut, tim peneliti mengembangkan Policy Brief yang diberikan kepada Dinas Pendidikan Surabaya sebagai strategi preventif imposter syndrome pada gen z di Kota Surabaya guna menguatkan karakter dan kesejahteraan psikologis generasi muda. Selain itu, tim peneliti juga menyusun modul pembelajaran “You Are Enough” yang ditujukan bagi guru Bimbingan Konseling SMP di Surabaya. Modul ini berfokus untuk penguatan konsep diri guna mencegah munculnya imposter syndrome.
Penelitian ini memberi pesan penting bahwa produktivitas tidak selalu identik dengan keberhasilan, dan istirahat bukan tanda kelemahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI