Masa remaja merupakan masa eksperimen sosial. Seperti yang dijelaskan dalam teori Erikson pada tahap Adolescence (identitas vs kebingungan identitas) bahwa disini remaja mulai menanyakan kepada diri sendiri "siapa aku sebenarnya?" "apa tujuan hidupku?". Remaja berusaha menyatukan nilai dari masa kecil dengan tantangan dan harapan lingkungan sosialnya. Apabila berhasil maka menghasilkan fidelity yaitu, kesetiaan terhadap identitas, kepercayaan diri, dan nilai yang diyakini dalam mengambil Keputusan hidup. Namun, proses penyatuan ini dapat terhambat karena berbagai faktor salah satunya yaitu tekanan dan harapan dari keluarga dan masyarakat. Awalnya mungkin hanya harapan, tetapi lama-lama dapat menjadi sebuah tuntutan. Tekanan atau tuntutan ini berpotensi menciptakan bayang- bayang yang bisa membatasi ruang gerak remaja untuk mencari dan mengeksplorasi identitasnya secara mandiri.
Sejalan dengan pemahaman ini, beberapa studi terkini telah mengungkapkan dampak ekspetasi orang tua atau keluarga yang berlebihan terhadap perkembangan remaja mencari jati dirinya. Studi pertama yaitu yang dilakukan oleh Xu, Zuo, dan Zheng pada tahun 2024. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara harapan dalam pendidikan anak dengan masalah kesehatan mental anak dengan tekanan akademis sebagai moderasinya. Hasilnya menunjukan bahwa harapan pendidikan dengan masalah mental remaja dan tekanan akademis memiliki hubungan yang erat. Harapan orang tua yang tinggi membuat tekanan akademis kepada anak pun ikut tinggi sehingga memicu masalah kesehatan mental. Dalam konteks teori Erikson, hal ini membuat anak menjadi kesulitan mengeksplorasi minat dan kemampuannya, ia fokus pada harapan orangtuanya dibandingkan dengan keinginan mereka sendiri. Mereka juga memungkinkan memilih untuk mengambil peran yang ditentukan oleh orang tuanya, yang dirasa bukan sesuai dengan jati dirinya karena ingin ekspetasi orangtuanya terpenuhi. Â Sehingga ini membuat kebingungan peran atau role confusion dan akhirnya menghambat pembentukan identitas yang kuat dan utuh pada diri mereka.Â
Selain itu studi lain yang dilakukan oleh Wang dan Zhang pada tahun 2025 juga  menunjukkan bahwa harapan orang tua yang tinggi tidak selalu buruk, tetapi dapat berdampak negatif pada kebahagiaan remaja apabila remaja tersebut memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah dan memiliki hubungan yang rendah juga dengan orangtuanya. Faktor lain yang dapat menghambat pembentukan identitas yaitu dari masyarakat sekitar. Studi yang dilakukan oleh Atoom, Nadin dan lainnya pada tahun 2024 menunjukkan bahwa proses pembentukan identitas dipengaruhi oleh norma sosial dan budaya yang kuat salah satunya adalah tentang stereotipe gender. Laki-laki focus utamanya adalah bekerja dan mencari nafkah, sementara perempuan mengurus rumah tangga. Keterbatasan ruang gerak yang terjadi terutama pada perempuan membuat ia mengalami tekanan sosial sehingga lagi-lagi ia tidak dapat mengeksplorasi berbagai peran dan nilai kehidupan, pada akhirnya mereka merasa terombang ambing.
Faktor terakhir yang dapat menghambat pembentukan identitas yaitu dari pengaruh media sosial. Ketika terlalu sering bermain media sosial, kita tidak bisa menjadi diri sendiri atau dalam kata lain kita memiliki identitas palsu. Hal yang ditampilkan di media sosial juga tidak selalu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Seringkali kita membohongi diri sendiri agar kita mendapat perhatian seperti likes, komen, dan banyak pengikut dari pengguna media sosial lainnya. Keinginan untuk mendapatkan perhatian inilah yang dapat membuat seseorang bingung dengan dirinya, karena mereka cenderung selalu mengikuti trend yang sedang berkembang dibandingkan dengan mencari tau atau memvalidasi keinginannya sendiri.
Remaja yang hidup dalam bayang-bayang ekspetasi orang tua, masyarakat, dan media sosial memungkinkan mereka mengalami kebingungan identitas dalam masa eksperimen sosialnya, apabila ini tidak dicegah maka bisa menimbulkan dampak yang negatif seperti depresi. Untuk itu, bagi orang tua dan keluarga penting untuk membangun hubungan yang dekat dan harmonis dengan anak agar anak merasa aman dan nyaman sehingga nantinya dapat menyatukan nilai dari masa kecilnya dengan tantangan dan harapan sosialnya. Serta untuk mengedukasi masyarakat agar mengurangi stereotipenya dan bijak dalam menggunakan media sosial.