"Bukan supaya terlihat
pintar," katanya sambil tersenyum, "tapi supaya tamu merasa dihormati."
Aku terdiam waktu itu --- bukan karena kehabisan kata, tapi karena tersentuh oleh cara mereka memahami makna bahasa. Bagi mereka, berbicara bukan sekadar menyusun kalimat; berbicara adalah cara untuk menyambung rasa, untuk menunjukkan bahwa kedatangan seseorang berarti. Bahasa menjadi ruang di mana keramahan menjadi warisan, bukan sekadar kebiasaan.
Di Labuan Bajo, ketika senja menurunkan jingganya di antara gugusan pulau, nelayan tua duduk di tepi dermaga sambil menyapa wisatawan yang baru kembali dari pulau Komodo.
"Selamat sore, nona," ucapnya dengan logat khas Nusa Tenggara.
"Bagus sekali mataharinya, ya?"
Seorang wisatawan asal Prancis menjawab pelan, "Trs magnifique!" (Sangat indah!)
Nelayan itu tak sepenuhnya paham arti katanya, tapi ia tertawa, lalu berkata pelan,
"Cantik, iya, cantik sekali."
Di situlah terlihat keajaiban pariwisata Indonesia: perbedaan bahasa tak menghalangi siapa pun untuk tersenyum pada sesamanya. Mungkin di antara gelombang yang bergulung itu, kita belajar bahwa keindahan bukan hanya milik alam, tapi juga milik tutur yang menyatukan.
Bahasa daerah yang lestari di kawasan wisata juga menjadi bagian penting dalam menjaga kearifan lokal. Di Tana Toraja, istilah "Ma'badong" mengacu pada tarian penghormatan bagi leluhur yang telah berpulang. Kata itu tak memiliki padanan sempurna dalam Bahasa Indonesia, sebab ia memuat filosofi mendalam tentang kehidupan, kematian, dan rasa hormat. Ketika wisatawan belajar mengucapkannya, mereka tidak sekadar mempelajari bunyi --- mereka sedang mempelajari jiwa bangsa.