Fenomena flexing pada saat ini bukanlah fenomena yang tabu lagi, banyak orang terutama para remaja yang memamerkan kekayaan berupa uang, barang-barang branded, sport car, rumah mewah, jalan-jalan keluar negeri, dan lain sebagainya. Hal itu mereka lakukan untuk mendapatkan citra bahwa mereka kaya raya dan mampu membeli segalanya. Apalagi dengan perkembangan teknologi dan sosial media, fenomena flexing ini semakin sering terjadi, Instagram, Facebook, Twitter (X), dan banyak lagi sosial media yang menjadi sasaran utama para remaja melakukan Flaxing di sosial media. Â
    Flexing sendiri berarti perilaku instingual dalam hubungan, yang dikaitkan dengan rasa tidak aman yang dimiliki seseorang, sehingga ada dorongan untuk memamerkan apa yang menurutnya lebih unggul dari orang lain (Simatupang, dkk, 2022). Flexing merupakan istilah atau kata gaul dari Amerika yang digunakan untuk menyebut individu yang sering memamerkan harta kekayaannya. Fenomena ini menjadi marak dengan adanya media sosial sehingga individu-individu berlomba-lomba pamer harta kekayaan (Khayati, dkk, 2022).
    Fenomena ini juga dianggap Sebagian orang sebagai dinamika kebudayaan yang berarti bahwa kebudayaan memang hal yang demikian, yang akan bergerak terus membentuk budaya baru. Tetapi, dalam hal perilaku ini bukan tidak dapat lagi dipahami sebagai pergerakan maju dikarenakan hal ini sarat dengan ekstasi juga patologi. Istilah yang dikemukakan Baudrillard, "penyakit sosial dan kemabukan" yang merajalela di masyarakat kontemporer dalam hal hiburan, politik, komunikasi, komoditi, seksual tidak terkecuali pada hal konsumsi (Mahyuddin, 2019).
   Fenomena flexing muncul karena adanya rasa ingin popular sehingga menggunakan cara pamer agar dikenal oleh khalayak. Saat ini pamer bukan hanya hal yang bersifat nyata namun juga sudah berbaur dengan kebohongan. Isi konteks yang diunggah belum tentu sama denga napa yang sebenarnya terjadi. Namun, hal itu adalah salah satu cara menaikkan popularitas banyak cara yang mereka lakukan untuk tujuan yang sama, yaitu popularitas, atau bahkan juga bisa menghasilkan uang dari hasil pamer mereka.
   Dengan flexing, para remaja menunjukan self-essteem mereka, yang mana penghargaan diri (self-esteem) yang tinggi akna mumunculkan perilaku cenderung memuaskan diri individu lain terhadapnya. Namun ternyata, (Madhane, dkk, 2015) dalam syamsu, 2019, mengungkapkan bahwa umpan balik (feedback) dari orang lain dapat digambarkan sebagai suatu proses yang terdiri atas komunikasi informasi yang diikuti oleh reaksi komunikasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bukan hanya penghargaan diri yang berpengarus terhadap perilaku individu, namun juga sebaliknya sehingga menimbulkan korelasi di antara keduanya.
   Menurut pengamat media sosial, Edwin Syarif Agustin, media sosial yang pertama kali membuat flexing popular adalah Instagram, lalu disusul platform-platform lainnya. Instagram berbasis foto dan video memberikan kemudahan kepada para penggunanya untuk melakukan flexing. Diantara crazy rich yang sering melakukannya adalah Raffi Ahmad dan Nagita Slavina yang membagikan kehidupan sosial dan mobil-mobil mewahnya, Anang Hermansyah dan Asyanty yang sering membagikan foto-fotonya diluar negeri, Syahrini yang sering menggugah fotonya dengan naik jet pribadinya, Uya Kuya yang membagikan foto-foto mobil antiknya, dan masih banyak lagi. Namun, flexing tidak hanya dilakukan oleh crazy rich atau kalangan atas saja, namun juga menengah kebawah. Hal inilah yang menjadi salah satu acuan para remaja dalam menimbulkan hasratnya untuk flexing atau memamerkan kekayaan mereka, karena mereka menganggap bahwa apa yang ada di dalam postingan tersebut adalah keren dan mereka ingin seperti mereka.
   Para remaja yang melakukan flexing menganggap bahwa media sosial, termasuk Instagram, sebagai wadah untuk melakukan personal branding. Menurut Hirianti (2019:33), personal branding adalah penjelasan atau proses komunikasi tentang kepribadian, kemampuan, nilai-nilai, perilaku, prestasi, keunikan, dan bagaimana semua itu menimbulkan persepsi positif dari masyarakat yang pada akhirnya presepsi tersebut dapat menjadi sesuatu identitas yang digunakan oleh orang lain dalam mengingat seseorang. Oleh karenanya, para remaja melakukan flexing dengan memamerkan keahlian yang dimili dan prestasi yang telah dicapai pada akun instagramnya. Contohnya seorang remaja yang merupakan pelaku flexing mengungkapkan bahwa ia ingin dipandang rajin oleh orang-orang, maka ia melakukan flexing dengan menggugah pencapaiannya dan aktivitas aktivitasnyang ia lakukan untuk menunjang citra diri yang ingin dibangun sebagai seorang duta pelajar.
   Dalam sudut pandang sosiologi, ada yang berpendapat bahwa ide dasar flexing, teori ini bertentangan dengan paham behaviorisme radikal yang mengantarknan J.B Watson menjaidi pionir. Hal ini didasarkan pada pemikiran protagonist dan teori simbolik, yaitu George Herbert Mead, yang berusaha memishkan teori dari behaviorisme radikal dalam arti, perilaku adalah ilmu yang melihat perilaku manusia dari luar secara objektif. Sedangkan menurut teori interaksi simbolik Mead mengkaji bagaimana suatu perilaku sosial menggunakan intropeksi untuk menemukan sesuatu yang mendasari kinerja suatu perilaku sosial dari sudut pandang pelaku.
   Dari sudut pandang psikologis, sebagagian besar motivasi utama mendorong individu untuk melakukan tindakan tersebut adalah karena mereka ingin menjelaskan kehadirannya di sosial media. Hal ini ditegaskan oleh forum psikologis indinesia yang gemar selfie di mobil mewah, berpergian dengan pesawat, memposting foto makanan mahal, serta foto-foto khas Roca-Roca. Artinya, selain mengacu pada sistem diferensiasi, yakni sistem ketimpangan status, simbolisme, pembentukan martabat sosial, serta ada juga konsumsi, konsumsi yang dimaksud adalah bahasa dan tanda. Tidak hanya itu, dapat digunakan sebagai sarana untuk mengekspresikan status sosial kita di masyarakat. Psikolog Indah Sundari Jayati menjelaskan bahwa flexing menunjukkan kebutuhan terhadap eksistensi diri. Perkembangan dunia digital, seperti sosial media, membuat mereka terbantu untuk flexing. Tidak mengherankan jika perilaku semacam ini semakin sering dijumpai di media sosial. Nevid (dalam Apriliani 2015:3) mengemukakan bahwa orang yang menampilkan perilaku narsisme suka memamerkan keberhasilan yang telah diraihnya, dengan haraan orang terkagum-kagum padanya. Flexing pada dasarnya menunjukkan adanya kebutuhan yang tinggi akan eksistensi diri.
Ada aspek aspek internal dalam gaya hidup, antara lain adalah:
- Sikap, sikap merupakan keadaan dari dalam diri setiap individu yang muncul berdasarkan apa yang ditanam dalam diri. Seperti membaca koran atau majalah yang akan memuncul dibarengkan dengan wawasan (Gasong, 2018:165).
- Pengalaman dan peninjauan, pengalaman individu mampu membawa pengaruh cara pandang individu terhadap sesuatu, karena individu sendiri memiliki cara pandang yang berbeda.
- Kepribadian, kepribadian yang dimiliki setiap orang akan berubah seiring berjalannya waktu dan pengalaman yang individu dapatkan dalam hidupnya.
- Konsep diri, menurut kajian psikologi, konsep diri yaitu melihat diri sendiri secara utuh dari berbagai macam segi seperti fisik sampai presepsi (Sunaryo, 2004:32).
- Penerimaan (presepsi), merupakan suatu cara bagi seseorangdalam memilah, menyusun, dan menggambarkan sebuah informasi dalam membangun suatu makna atau sebuah penegertian terhadap suatu hal.
Adapun aspek-aspek eksternalnya, yaitu:
- Kelompok acuan, merupakan kelompok yang dimiliki tiap-tiap individu yang dianggap bisa memberi dan memiliki pengetahuan dalam membagikan suatu dampak terhadap pembentukan karakter, sikap dan perilaku yang dimiliki kelompok acuan merupakan kelompok yang dimiliki tiap individu.
- Keluarga, keluarga memiliki peranan pertama dan penting dalam pembentukan diri setiap anggotanya. Sikap individu pada awalnya didasari dengan bagaimana ia diperlakukan oleh keluarganya dan apa yang ia lihat dan lakukan dikeluarganya.
- Kelas sosial, merupakan sekelompok masyarakat yang memiliki jenjajng dan kesamaan yang sama berdasarkan status sosial mereka. Kelompok ini menjadi pembahasan yang memiliki banyak pendapat karena dinilai positif dan negatif.