Mohon tunggu...
Nabih Rijal Makarim
Nabih Rijal Makarim Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pelajar

l The teacher is the one who gets the most out of the lessons, and the true teacher is the learner l My instagram @nabihrm_

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Terorisme dalam Bingkai Kriminologi dan Hukum Pidana: Dari Mazhab Kriminologi Kritis hingga Politik Kriminal #1

11 April 2021   22:11 Diperbarui: 12 April 2021   13:40 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: istockphoto.com

"Berhentilah dengan nafsumu, dan kamu menjadi beriman."

(Blaise Pascal)

"Fanatisme adalah satu-satunya 'tekad' yang kepadanya orang-orang lemah juga dapat dibawa."

(Friedrich Nietzsche)

"Lawan cinta bukanlah kebencian, melainkan pengabaian; pengabaian menciptakan kejahatan. Kebencian adalah kejahatan itu sendiri."

(Elie Wiesel)

Tulisan kali ini dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu kejahatan tentu berangkat dari melimpah-ruahnya keresahan penulis terhadap beberapa fenomena kejahatan "teror" (aksiologi) atau sebut saja "terorisme" (ideologi) internasional khususnya dalam konteks negara Indonesia---dari gerakan kolektif bom Bali dulu hingga "lone wolf" kemarin di Mabes Polri. Tindakan dehumanisasi tersebut sangatlah bertolak belakang secara diametral dengan spirit dan nilai Pancasila (Grundnorm) dan Konstitusi (Staatsfundamentalnorm) kita, lebih-lebih lagi dengan berbagai prinsip global kemanusiaan yang beradab.

Tak bisa dimungkiri memang bahwa model kejahatan yang biasanya berbasis pada akumulasi perilaku amoral seperti memproduksi polusi kekerasan, menyemai benih ketakutan, memfabrikasi ancaman dan/atau kematian, hingga indoktrinasi ideologis yang terkadang sarat oleh kepentingan politis (political interest) di belakang layar itu telah menghiasi lembaran panjang dan tebal sejarah peradaban umat manusia lintas zaman. Itulah bukti yang menjadi fakta sejarah bahwa saat ini kita sedang hidup di tengah kemarau moral dan keringnya samudra etika, tampaknya pulau cita-cita kebahagiaan bersama (al-masalahah al-ammah, res publica) hanya menjadi imajinasi utopis belaka.    

Hemat penulis, terorisme senantiasa disebut sebagai "sindrom jihad" maupun "pseudo-syahid" yang sangat tidak manusiawi. Berbagai upaya yang telah dilakukan dalam menghadirkan solusi alternatif untuk menuntaskan persoalan tersebut tampaknya tidak menghasilkan perubahan yang cukup memuaskan. Namun yang jelas, bahwa setiap aksi terorisme itu tidak boleh dijinakkan sama sekali di bawah naungan kata toleransi, kebebasan, hak asasi manusia, dan pluralisme, hal ini justru mampu membuahkan suatu keadaan anomali baru, dengan bahasa lain yaitu membuka---dalam literatur mitologi Yunani disebut sebagai---kotak pandora (pandora box). Jauh sebelum narasi ini dirumuskan oleh penulis, Karl Popper secara tegas dalam teori "The Paradox of Tolerance" telah berusaha mengingatkan kita terhadap fenomena aneh ini yang tidak boleh diterima apa adanya begitu saja (taken for granted), bahwa kita jangan sekali-kali toleran terhadap kelompok yang intoleran!  

Dalam tradisi perdebatan intelektual, hingga saat ini definisi dari "terorisme" itu sendiri belum mendapatkan tempat yang layak, para ahli tampaknya akan dan sedang terus memperdebatkannya seolah tanpa memiliki ujung lorong konsensus. Karena antarversi definisi tersebut selalu saja memiliki ambiguitas, pluralitas makna, irrasional, saling bertabrakan, maupun kecacatan. Apabila merujuk pada kamus bahasa internasional seperti Webster e-Dictionary, bahwa terorisme didefnisikan sebagai berikut, "the use of violent acts to frighten the people in an area as a way of trying to achieve a political goal". Kendati definisi terorisme tersebut mensyaratkan adanya imajinasi dan visi politik, namun dalam beberapa kasus gerakan 'teroristik' agaknya tidak terlihat indikasi-indikasi kepentingan politik, seperti misalnya gelombang penembakan terhadap penduduk sipil, anak sekolah, dan lain-lain yang kerap kali menyeruak di semester pertama dari tahun 2016 di Amerika Serikat. Fakta ini juga telah mendapat legitimasi dari salah seorang sosiolog terkenal, Austin T. Turk, beliau menyatakan bahwa motivasi dan tujuan politis tidak selalu merupakan unsur utama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun