Mohon tunggu...
N Mursidi
N Mursidi Mohon Tunggu... profesional -

tidak siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Catatan Dibalik Sebuah Eksekusi Mati 2

24 Agustus 2016   07:43 Diperbarui: 24 Agustus 2016   08:22 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tengah malam berlalu dan hari bahkan sudah hampir pagi. Tetapi tragisnya, aku kembali tidak bisa tidur. Hal ini bukan semata-mata karena gaji belum cair. Juga uang perpisahaan yang tak kunjung ada kejelasan. Pangkal dari "kelopak" mataku tidak bisa diajak kompromi untuk terpejam itu hanya semata-mata lantaran ada satu pertanyaan sepele yang butuh jawaban.

Pertanyaan ini --terus terang-- terkait dengan catatanku kemarin dini hari tentang permintaan penulisan buku biografi dari anak seorang gembong narkoba kelas kakap -tentang "perjalanan hidup" sang ayah yang malang melintang di dunia gelap obat terlarang. Berkali-kali aku berusaha memejamkan mata, tetapi sialnya, mataku seperti sebuah bola yang terus menggelinding dan tak mau diam. Apalagi, mau tenang kemudian terpejam. Mataku terus menatap langit-langit kamarku yang putih hampir kusam, dan pikiranku melayang-layang mempertanyaan satu hal. Benarkah email yang aku terima itu dari anak si gembong narkoba? Bagaimana jika email itu tidak datang dari anaknya, tapi dari anak buahnya?

Sebenarnya, sekali pun aku bisa menjawab pertanyaan ini, tetap saja hal itu tak membuatku kenyang. Hal itu tidak juga membuatku sekonyong-konyong punya uang, dan dompetku tebal. Alangkah baiknya jika aku memikirkan nasibku sendiri: aku kembali menulis cerpen, lalu kukirim ke koran atau menjahit baju baru lalu kujual. Itu lebih praktis! Aku bisa dapat uang. Tapi hidup ini kadang-kadang adalah serentetan pertanyaan yang menuntut kita untuk menjawab agar hati menjadi tenang, dan pikiran merasa terpuaskan.

Itulah kenapa aku harus menjawab pertanyaan tersebut. Tentu saja, itu demi tuntutan aneh agar aku bisa tidur nyenyak. Jadi, aku pun berusaha menjawab: apa benar orang yang mengirim email itu adalah anak si gembong narkoba. Tak ingin aku tidur dihantui pertanyaan, aku pun menjelajah dunia internet. Aku melakukan penelusuran, tentang kisah cinta sang gembong narkoba yang seperti magnet dan masih menjadi perbicangan hangat. Dari satu tulisan ke tulisan yang lain, aku mendapati jawaban bahwa sang gembong narkoba yang dieksekusi mati itu ternyata memiliki kisah cinta yang berliku. Dari kisah cinta yang berliku itu, dia ternyata sempat menikah tiga kali. Dari istri pertama, dia memiliki anak laki-laki yang kini berusia 18 tahun.

Dari hasil penulusuranku itu, aku merasa lega. Besar kemungkinan yang menulis email itu adalah anak laki-laki pertama sang gembong narkoba. Tapi, setelah pertanyaan itu terjawab, ada pertanyaan lagi yang butuh jawaban lebih lanjut. Lalu, dari mana dia mendapatkan emailku? Apakah dia sempat membeli bukuku "Tidur Berbantal Koran", dan mendapati email di akhir halaman yang memuat biodataku sebagai pengarang?

Ah..., hidup ini memang serentetan pertanyaan yang tak akan pernah tuntas terjawab. Coba kamu perhatikan kehidupan di sekeliling. Bisa saja ini menimpamu, menimpa saudaramu atau orang lain. Tapi nyaris dibelit serentetan pertanyaan yang tidak pernah tuntas atau berhenti. Seperti spiral pertanyaan hidup. Saat berusia 25 atau 30 tahun, setiap orang kerap ditanya kapan menikah?

Giliran satu atau tahun kemudian dia menikah, dia dicerca lagi pertanyaan lanjutan --kapan memiliki momongan? Tuhan sudah memberi anugerah anak perempuan, setelah itu, tapi lagi-lagi hal itu tidak membuat orang-orang puas. Orang-orang masih bertanya kapan memiliki anak laki-laki? Wah, belum lengkap hidupmu jika kamu belum memiliki anak laki-laki.

Aku sering bertanya itu pertanyaan serius atau gurauan? Jika gurauan sepertinya tidak layak hidup ini dijadikan bahan gurauan. Sebab, urusan anak adalah anugerah dari Tuhan. Aku memiliki teman yang bertahun-tahun sudah menikah, dan Tuhan belum mengaruniai mereka berdua anak. Itu artinya Tuhan meminta pasangan itu pacaran terus dalam bingkai pernikahan. Maka aku kerap memberi nasehat pasangan suami-istri yang belum memiliki anak. Nikmati hidupmu, sebab kau bisa pacaran dan berbulan madu jauh lebih panjang dari pasangan lain. BUkankah itu nikmat? Nikmat Tuhan mana lagi yang ingin kau dustakan?

Tapi, hidup ini memang mirip mengisi teka teki silang. Satu pertanyaan terjawab deretan pertanyaan lain harus dijawab agar kotak TTS penuh terisi. Setelah Tuhan menganugerahi anak, beberapa tahun kemudian, orang pun akan bertanya: kapan mantu? Giliran sudah menggelar resepsi pernikahan, orang-orang di sekitar pun tak pernah berhenti bertanya kapan menimang cucu? JIka kau capek menjawab pertanyaan seputar itu, aku sarankan tidur saja. Itu saranku!!!

Hidup ini indah jadi jangan dibuat bingung dengan serentetan pertanyaan yang membelitmu. Seperti aku. Jadi, malam ini aku akan tidur. Aku tidak akan menjawab; dari mana anak gembong narkoba itu dapat emailku. Itu tidak penting!!! Terus terang, sekali lagi aku jelaskan, itu tak penting.

Sebab bagiku, dalam hari-hari ini, hal yang lebih penting adalah kapan gajiku cair dan kapan uang perpisahan itu akan turun. Sebab, jika rezeki itu bisa turun dengan cepat, aku bisa membesarkan bisnisku di dunia fashion. Itu yang lebih penting kujawab, bukan soal dari mana anak gembong narkoba itu mendapat emailku.

Jakarta, dini hari 31/07/2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun