Mohon tunggu...
M. Zulficar Mochtar
M. Zulficar Mochtar Mohon Tunggu... Konsultan - Direktur Ocean Solutions Indonesia (OSI).

#Menuju NegaraMaritim yang Mandiri dan Berdaulat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mengapa Nelayan (Masih) Susah?

4 Desember 2022   22:55 Diperbarui: 8 Desember 2022   18:41 1185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rantai Pasok yang Putus

Indonesia negara perikanan terbesar di dunia, dibawah China. Sekitar 8% produk perikanan global dihasilkan Indonesia. Bahkan berbagai komoditas, misalnya Tuna, Indonesia merupakan produsen terbesar dunia.

Namun manfaat ekonomi yang diterima nelayan, pasokan ekspor dan nilai ekspor kita, yang berujung pada pendapatan negara, masih cukup memprihatinkan.

Salah satu kunci utamanya adalah Rantai Pasok yang putus dan Rantai Nilai yang tidak optimal. Di semua tahapan penangkapan ikan ada tantangan besar yang harus diatasi. Nelayan tidak punya modal untuk melaut.

Ini perlu dijembatani. Ketika melaut, perlu memastikan system rantai dingin untuk kesegaran ikan harus terjamin. Sejak menangkap, hingga tiba di Tempat Pendaratan Ikan (TPI), diproses, dan didistribusikan hingga konsumen. Perlu dipakstikan pasokan es dan rantai dingin memadai.

Salah penanganan, ikan yang komodias ekspor dengan harga Rp 50-60.000 per kg, bisa tiba-tiba runtuh menjadi Rp 15.000 saja. Harga dipermainkan tengkulak. Sebaran system logistic tidak merata di Indonesia. Ikannya banyak di Timur, tapi system logistic dan infrastruktur banyak di Barat. Biaya kemahalan dan operasional lebih tinggi dari seharusnya. Belum lagi hambatan tarif untuk ekspor, pungutan di sana-sini, pendataan dan perizinan belum optimal, yang masih menjadi kendala.

Data Perikanan belum Solid

Upaya menangkap ikan di laut sudah dilakukan sejak ratusan tahun. Tata kelola perikanan juga bergerak mengikuti pola tersebut. Sistem data perikanan juga memegang peran yang semakin penting. KKP termasuk sangat serius membenahi masalah data ini. Mulai jumlah nelayan, fasilitas, alat tangkap, kapal, pelabuhan, produktifitas, hingga mobilitas kapal bisa diketahui.

Namun sistem data ini umumnya lebih solid di kapal-kapal diatas 30 GT, yang menjadi kewenangan pusat. Kapal-kapal ukuran 10-30 GT dan dibawah 10 GT, yang sebenarnya lebih 96% dari armada perikanan Indonesia, yang sebelumnya menjadi kewenangan Pemda, cenderung belum solid.

Akibatnya, seringa dan kegamangan terkait pendataan ini. Ini juga tentu saja berdampak terhadap total jumlah kapal, total GT kapal, total produksi tangkapan, total nelayan, ABK, total komoditas, dan sebagainya. Belum pernah dilakukan sensus Perikanan yang komprehensif termasuk kapal-ikan dilakukan di Indonesia. Selalu ditebengkan dengan sensus pertanian, yang masih gagal memotret profil perikanan dan dinamika nelayan dengan baik.

Akibatnya tentu saja, masih banyak gap data yang harus disinkronkan, juga penggalian data-data baru di semua proses hulu-hilir perikanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun