Mohon tunggu...
Muhammad Yulian Mamun
Muhammad Yulian Mamun Mohon Tunggu... Dosen - Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Antasari Banjarmasin

Tinggal di Banjarmasin, alumni KMI 2006. Menulis tentang sejarah, wisata, ekonomi & bisnis, olahraga dan film.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah Sarang Koruptor

19 Juni 2018   11:43 Diperbarui: 19 Juni 2018   12:25 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: easternbiological.co.uk

Pak Kiai berorasi dengan lantang di atas  mimbar pesantren, "Jika pesantren dituduh jadi sarang teroris, apakah  mereka mau kalau kita bilang bahwa SMP dan SMU itu sarang koruptor?"

Gemuruh. Orasi Kiai mendapat aplaus dari para santri dan hadirin.

Momen ini terjadi saat isu terorisme dari pesantren mencuat sejak  beberapa tahun silam. Buntutnya banyak santri dan tokoh pesantren  ditangkapi karena tuduhan berbuat makar.

Teror meninggalkan jejak kengerian dan rasa takut dalam benak  masyarakat. Tak jarang banyak orang tak bersalah harus meregang nyawa  menjadi korban. Meski teror sebegitu mengerikannya, korupsi tidak kalah  bahaya dibanding terorisme. Korupsi merusak pola pikir dan membuat hati  seseorang diselubungi pekatnya niat jahat.

Kita sepakat bahwa kondisi negara sedang limbung digerogoti korupsi.  Biang korupsi ada di mana-mana, termasuk di pemerintahan. Pengusaha dan  masyarakat awam pun ikut terlibat, menyuburkan lingkaran korupsi jadi  bulatan tak berujung. Kita sama-sama tahu lah, praktek rasuah ini masih  jamak kita temui di sekeliling kita dari oknum polisi, pejabat kantor  kelurahan hingga para elit di gedung parlemen.

Dari mana para koruptor ini berasal? Ya, mayoritas dari mereka  dulunya mengecap bangku sekolah yang berada di bawah naungan Kementerian  Pendidikan. Berarti sistem pendidikan kita gagal mencetak orang-orang  baik, malah menelurkan koruptor. Memang tidak semua alumni sekolah jadi  para bedebah, masih ada yang jadi orang baik. Tapi mereka koruptor  tengik ini menguasai pos-pos penting di negara kita sehingga semuanya  terhisap dalam kubangan dosa ini.

Wajar saja Pak Kiai tadi berang atas tuduhan teroris tak berdasar  itu. Padahal pesantren sebagai lembaga pendidikan yang sudah ada sejak  Indonesia belum merdeka malah sebenarnya terbilang 'lebih sukses'  dibanding sekolah yang berada di bawah naungan pemerintah lewat  kementerian pendidikan. Masih banyak pesantren yang tidak mengikuti  kurikulum pemerintah dan menerapkan silabus sendiri. Kalaupun ikut  kurikulum nasional, biasanya ada pelajaran tambahan lagi sesuai dengan  identitas pesantren. Biaya operasional pun pesantren memperolehnya  secara mandiri, tidak menyusu kepada anggaran belanja negara.

Salahnya menteri Pendidikan? Tidak sepenuhnya.

Setiap peringatan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei, kita selalu  berputar pada masalah pendidikan Indonesia seperti tak kunjung habis.  Problematika ini laksana simbol kuno Ouroboros yang menggambarkan ular  melingkar memakan ekornya sendiri. Tak berujung.

Masalah pendidikan memang bukanlah remeh temeh. Problem pendidikan di  negara kita adalah sebuah urusan yang terpaut dengan keberlangsungan  Indonesia itu sendiri. Isu pemerataan pendidikan, kesejahteraan dan  kualitas guru, fasilitas dan infrastruktur adalah kemuskilan yang tak  ada habisnya.

Sepenuhnya tidak salah jika pemerintah berfokus pada lembaga sekolah  dan segala sistem pengajaran yang menjelimet itu. Karena pengajaran di  sekolah adalah salah satu bagian penting dari pendidikan yaitu  menekankan pada pengetahuan dan keterampilan. Sekolah lewat kurikulumnya  juga sudah berupaya mendidik berbagai aspek lainnya seperti iman,  takwa, budi pekerti, kesehatan jasmani dan rohani. Tapi harus diakui  porsi aspek-aspek pendidikan lain itu porsinya sangat minim, tak sebesar  pengetahuan dan intelektual.

Pemerintah sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memperbaiki moral  negeri ini. Meski tidak bijak, bongkar pasang kurikulum adalah salah  satu ikhtiar pemerintah untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.  Tujuan pendidikan sesuai amanat Undang-undang Dasar 1945 yang tertuang  dalam UU No. 20 tahun 2003 bukan hanya bikin orang pintar, tapi memoles  semua aspek dalam diri manusia.

Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia  Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap  Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan  keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan  mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Manusia yang ingin dibentuk oleh negara adalah yang bertakwa serta  berbudi luhur. Barulah setelah itu meraih pengetahuan dan keterampilan.  Jika pengetahuan dan keterampilan diraih tanpa menyertakan iman dan  takwa maka etika dan moral akan diterabas sesuka hati. Sekarang  contohnya sudah terjadi di sekitar kita.

Apa yang harus Kita Lakukan

Lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat biasa? Kalau hanya  merutuki pemerintah dan ujian nasional saja tidak akan menyelesaikan  masalah. Kita juga harus ikut andil meringankan kerja pemerintah dalam  mendidik. Tapi bagaimana caranya? Saya bukan guru, cuma pedagang di  pasar, hanya karyawan swasta dan berbagai keraguan lainnya.

Seperti yang disinggung di atas, pendidikan tidak hanya tentang  bagaimana meraih nilai UN terbaik lalu lolos seleksi di universitas  ternama. Kita bisa ikut ambil bagian dengan mendidik sekitar memberi  contoh kepada lingkungan dari hal yang paling kecil, membuang sampah di  tempatnya, misalnya. Syukur-syukur bisa ikut mengajar di kelas.

Bagi yang sudah berkeluarga, maka dapat mendidik dengan memberi  contoh perbuatan dan perkataan yang baik kepada anak. Pernah saya  berpapasan dengan anak kecil yang dimarahi ibunya karena berkata "sialan".  Saat ditegur, anak tersebut protes, "Aku dengar Papa ngomong 'sialan' kemarin di rumah. Masak aku ga boleh?" ujarnya sambil terisak. Biarpun  sang ibu marah-marah bagaimanapun, anak itu tidak akan mudah berubah  sikapnya karena ironisnya orang yang melanggar perbuatan itu adalah  ayahnya sendiri.

Ary Ginanjar Agustian, menyebutkan bahwa penanaman nilai dan budaya  di keluarga, perusahaan, masyarakat hingga pemerintah sangat tergantung  dengan perilaku pimpinan dalam organisasi tersebut. Jika perbuatan  pimpinan berlawanan dengan budaya yangia koar-koarkan, justru akan  mengundang sikap antipati dari anggota organisasinya. Sedangkan Brian  Tracy menyebut ciri pemimpin yang baik adalah selalu menjadi teladan  dalam perbuatan (leading by example) bahkan saat tidak ada seorang pun  yang melihatnya.

Percayalah, hal baik meskipun remeh, akan menular dan ditiru oleh  orang lain. Begitupun dengan perbuatan buruk. Tauladan dengan perbuatan  lebih baik dari khotbah sampai mulut berbusa-busa.

Tulisan ini pernah dimuat di Fabana.id dengan judul serupa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun