Mohon tunggu...
Hety A. Nurcahyarini
Hety A. Nurcahyarini Mohon Tunggu... Relawan - www.kompasiana.com/mynameishety

NGO officer who loves weekend and vegetables

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Nggak Punya yang Favorit tapi Punya Ceritanya

22 April 2021   20:59 Diperbarui: 22 April 2021   21:17 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sedikit kilas balik. Dulu, saat usia sekolah, sore-sore, saya enggak pernah absen menemani mama menonton acara-acara showbiz, infotainment, alias berita-berita artis di TV. Mama dan saya sama-sama pulang dari beraktivitas. Mama sepulang kerja, sedangkan saya sepulang sekolah atau bangun tidur siang. Acara nonton TV bersama sore-sore jadi cara kami menghabiskan waktu berdua, bercengkrama. Kadang mama sambil makan, saya sambil rebahan.

Berita-berita artis Indonesia enggak pernah lepas dari kabar pernikahan, pertunangan, perceraian, konflik rumah tangga, perebutan hak asuh anak, pacaran, sinetron terbaru, dan sebagainya. Saya yang masih usia sekolah kala itu, enggak pernah menganggap berat, sambil lalu saja. Toh, enggak akan keluar di ulangan Matematika. Kadang manggut-manggut mengerti, kadang geleng-geleng, kadang saking enggak masuk akalnya, baru bertanya pada mama, "Emang beneran, bisa sampai kayak gitu ya, Mam?"

Dari semua berita, ada satu berita yang selalu menarik perhatian saya, yaitu berita tentang penyanyi solo, grup, atau band yang merilis album religi. Entah mengapa, senang begitu melihat ada yang produktif. Saat ditanya si wartawan infotainment mengapa si penyanyi mengeluarkan album religi, ada beragam jawaban dari si penyanyi. Mulai dari memanfaatkan momentum menyambut Ramadan sampai 'kebetulan' karena mereka mendapatkan tawaran dari label. Kadang, di akhir kesempatan wawancara, si wartawan akan menantang si penyanyi untuk bernyanyi, bagian 'reff'-nya saja, sekadar menunjukkan ke pemirsa.

Ya, sah-sah aja sih, baik si penyanyi mau unjuk gigi dengan lagu ciptaannya sendiri atau sekadar me-recycle lagu religi yang sudah pernah ada dengan aransemen baru. Saya respek dengan pencapaian mereka. Yah, namanya juga usaha, ya. Terlebih zaman saya sekolah, baru ada album musik dalam bentuk kaset dan CD. 

"Dek-dek, ini lagu zaman dulu ini," kata mama selalu jika ada lagu yang familiar. Kalimat mama secara enggak langsung menambah wawasan lagu-lagu religi saya. "Jadi lebih enak ini, lebih bagus," tambah mama. Walau kami terlahir di zaman yang berbeda, sering juga selera kami sama untuk menilai sebuah album religi. Ada yang mendayu-dayu, ada yang liriknya lugas, ada yang 'easy listening' alias mudah masuk ke telinga, sampai ada yang dibawakan dengan aransemen musik yang 180 derajat berbeda.

Kalau sudah begitu, saya suka bertanya dengan mama, mengapa masjid di samping rumah kami masih sering memutar lagu-lagu kasidah yang sudah enggak jamannya lagi. Mengapa enggak lagu-lagu modern yang dibawakan para penyanyi seperti yang di TV. Mama pun tertawa. Mungkin mereka nggak punya kasetnya. Maklum, menyetel musik kasidah adalah cara yang digunakan oleh masjid di samping saya untuk 'mengundang' atau 'menginformasikan' kepada orang-orang bahwa ada kegiatan di masjid. 

Sayangnya, lagu-lagu yang diputar sudah ketinggalan zaman, bahkan sering sekali mengeluarkan bunyi-bunyian penanda kasetnya sudah lama, terlalu sering diputar, dan 'hampir' rusak. Walaupun demikian, gara-gara masjid menyetel lagu-lagu itu, ada beberapa lirik yang masuk ke kepala saya, misalnya "banyak yang cinta damai, tapi perang semakin ramai" atau "sayang sungguh sayang, cantik-cantik tidak sembahyang". Sudah itu saja kalimat yang menari-nari di kepala saya. 

Lain halnya dengan masjid samping rumah, saat menemani mama belanja keperluan menjelang Ramadan atau bahkan saat 'hunting' baju lebaran, di supermarket atau mall selalu memutar lagu-lagu religi. Sepertinya benar-benar ingin menciptakan suasana jelang/saat Ramadan. Atau bisa jadi, agar orang-orang jadi nyaman berbelanja. 

Lagi-lagi bukan karena saya hafal, tapi karena terlalu sering mendengar. Jadilah, saat berputar-putar mencari bareng sambil mendorong trolley, saya suka tebak-tebakan dengan diri saya sendiri. Eh, anu, ini kan lagunya penyanyi yang kemarin di TV, eh enak juga ya. Kadang, saya sudah mencoba diam, seakan 'you sing, you lose' tapi gagal. Hati saya terlanjur terbawa irama, bernyanyi dalam hati.

Demikianlah cara saya menikmati lagu religi di masa kecil, tidak membeli kaset atau CD-nya, tapi cukup 'numpang dengar' di TV, masjid sebelah rumah, atau di pusat perbelanjaan. Kalau ditanya, lagu apa yang jadi favorit. Saya jawab enggak ada tapi saya punya ceritanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun