Mohon tunggu...
Hety A. Nurcahyarini
Hety A. Nurcahyarini Mohon Tunggu... Relawan - www.kompasiana.com/mynameishety

NGO officer who loves weekend and vegetables

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dhurung Elmo, Lima Tahun Estafet Mimpi Pulau Bawean

29 Mei 2016   23:49 Diperbarui: 30 Mei 2016   00:49 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

15 Juni 2011, untuk pertama kalinya, saya menginjakkan kaki di Pulau Bawean. Ini menjadi sangat historis seperti Columbus menginjakkan kaki di Benua Amerika untuk pertama kalinya pada 12 Oktober 1492. Kalau disamakan, antara saya dan Columbus sama-sama tidak tahu bagaimana kondisi daerah yang kita datangi untuk pertama kali. Kita sama-sama ‘buta’, tidak mempunyai kecukupan informasi.

Jika Columbus datang dengan jubah pelaut utusan ratu (petualang) dan misi menakhlukkan suatu wilayah, maka saya datang ke Pulau Bawean sebagai guru bantu yang dikirim oleh sebuah Yayasan (non-pemerintah) bernama Indonesia Mengajar (guru bantu ini lebih populer disebut Pengajar Muda). Pengajar Muda datang ke suatu daerah dengan empat bidang tugas, yaitu intrakurikuler, ekstrakurikuler, pengembangan masyarakat, dan pelibatan daerah.

Saya dan lima orang Pengajar Muda lainnya ditugaskan di enam Sekolah Dasar (SD) yang berbeda selama satu tahun. Satu Pengajar Muda berada di satu SD dan tinggal bersama masyarakat di sebuah desa sebagai anak angkat sebuah keluarga. Jadi, jangan dibayangkan ini sebagai kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di mana satu SD menjadi tempat praktik untuk sekelompok mahasiswa.

Walaupun dikirim ke Pulau Bawean sebagai Pengajar Muda angkatan II, sesungguhnya saya adalah Pengajar Muda pertama yang bertugas di daerah penempatan (kabupaten) genap. Karena komitmen Indonesia Mengajar terhadap suatu daerah adalah lima tahun, maka selama lima tahun berturut-turut, akan ada lima Pengajar Muda secara bergantian. Sebagai pemegang tongkat estafet pertama di Pulau Bawean, saya lebih banyak melakukan memetakan kondisi lapangan, sumber daya, sekaligus potensi yang bisa diberdayakan, khususnya di bidang pendidikan.

Kondisi Pulau Bawean itu unik. Secara administratif, Pulau Bawean termasuk dalam wilayah kabupaten Gresik. Dari 18 kecamatan yang masuk dalam wilayah kabupaten Gresik, dua di antaranya ada di Pulau Bawean, yaitu Kecamatan Tambak dan Kecamatan Sangkapura. Dengan hingar-bingar kehadiran dua industri besar di Gresik, nyatanya, tidak sepenuhnya berpengaruh dengan kondisi di Pulau Bawean, khususnya perekonomian. Tenaga kerja dari Pulau Bawean juga tidak sepenuhnya terserap ke sana. Justru banyak penduduk Pulau Bawean yang merantau ke Malaysia sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

Di desa-desa di balik pegunungan atau perbukitan, bisa dengan mudah kita temukan anak-anak tanpa orang tua, pun dengan pemuda dan pemudinya. Mereka hilang dari desa, berbondong-bondong ke Malaysia untuk bekerja mencari penghidupan yang lebih baik selama sekian tahun. Kondisi inilah yang akhirnya berpengaruh pada pola pikir masyarakat tentang pendidikan. Angka putus sekolah yang cukup tinggi terjadi di level SD. Walaupun terdengar sederhana, keputusan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) setelah lulus SD merupakan hal besar. Biaya pendidikan selalu menjadi alasan untuk memilih tidak bersekolah. Faktanya, semakin tinggi tingkat pendidikan, biaya pendidikan yang harus dikeluarkan pun semakin besar. Keberadaan SMP/MTS yang tidak sebanyak SD membuat mereka harus mengeluarkan biaya ekstra untuk transportasi dan akomodasi.

Jika muara dari sekolah adalah bisa bekerja dan menghasilkan uang untuk keluarga, maka saat ada kesempatan untuk menghasilkan uang tanpa syarat pendidikan tinggi (baca: ijazah), mengapa tidak? Mirip saat seorang murid saya di SD bertanya kepada saya, “Bu, apa gunanya sekolah? Tidak lulus sekolah pun, paman saya bisa ke Malaysia menghasilkan uang yang dikirim ke keluarga.”

Itulah salah satu tantangan dari sekian banyak masalah pendidikan yang dihadapi oleh Pengajar Muda yang ditempatkan di Pulau Bawean. Tidak hanya angkatan II, tetapi juga pemegang estafet berikutnya, Pengajar Muda angkatan IV, VI, VIII, dan yang sampai bulan Juni 2016 ini masih bertugas, angkatan X. Kehadiran Pengajar Muda, khususnya di desa saya di Kepuh Legundi, Kecamatan Tambak, dibutuhkan untuk menggerakkan masyarakat. Pengajar Muda tidak henti-hentinya mensosialisasikan pendidikan sebagai tanggung jawab bersama. Untuk mengatasi semua permasalahan yang ada, dibutuhkan keterlibatan dan komitmen dari semua pihak. Pada posisi ini, Pengajar Muda menjadi fasilitator antara pemerintah dan masyarakat.

Keengganan untuk bersekolah berusaha dijawab dengan ketersediaan buku-buku atau bahan bacaan yang bisa memancing keingintahuan anak-anak, orang tua, dan masyarakat. Peningkatan ketrampilan masyarakat dijawab dengan pelatihan yang diadakan secara swadaya. Ketidakpercayaan orang tua dengan kemampuan anaknya, dibuktikan dengan keikutsertaan anak pada lomba dan berhasil menjadi juara. Tiga hal itu terus berlangsung sejak saya sebagai Pengajar Muda angkatan II sampai dengan Pengajar Muda angkatan X. Lagi-lagi, itu tidak hanya atas peran tunggal Pengajar Muda semata, tetapi juga peran guru, kepala sekolah, orang tua, masyarakat, dan relawan yang (bahkan) berasal dari luar Pulau Bawean.

Sebagai contoh keberadaan ‘Dhurung Elmo’ (Dhurung berarti gasebo, rumah panggung kecil tempat menyimpan padi dan hasil panen, elmo berarti ilmu) di desa saya. Saat saya pertama kali datang, tidak ada ruang perpustakaan di sekolah. Karena keterbatasan ruangan di sekolah, saya menginisiasi perpustakaan kecil di ruang tamu di rumah orang tua angkat saya. Koleksi buku perpustakaan berasal dari kiriman teman-teman dan beberapa komunitas pendidikan yang saya hubungi.

Siapa sangka, beberapa tahun kemudian, karena banyaknya donasi buku yang diterima, akhirnya kepada sekolah menyediakan sebuah ruangan di sekolah untuk dijadikan perpustakaan. Anak-anak pun riang karena bisa membaca sekaligus meminjam buku di sana. Walaupun demikian, masih  muncul kendala terbatasnya akses untuk ke perpustakaan. Kunjungan ke perpustkaan hanya bisa dilakukan saat Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) berlangsung dan hanya siswa-siswa saja, masyarakat belum mendapat kesempatan untuk membaca dan meminjam buku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun