Mohon tunggu...
Muzlifah Muhiddin
Muzlifah Muhiddin Mohon Tunggu... Pernah bekerja sebagai guru di SMPN 16 Jakarta dan pelukis yang memiliki studio di Pasar Seni Ancol Blok C92

Saya senang membaca dan menulis, serta akan mencoba mengirim tulisan ke kompasiana. Harapan saya tulisan saya dapat menghiasa laman kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Seni

Spirit Pangeran Diponegoro dalam Kanvas ASPEN

28 Mei 2025   02:38 Diperbarui: 28 Mei 2025   02:38 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prof.Agus Mulyana, M.Hum. (Foto: Muzlifah M)

Salut atas sikap para pelukis yang tergabung Asosiasi Pelukis  Nusantara (ASPEN) yang mengangkat kebesaran Pangeran Diponegoro menjadi karya seni  Demikian ungkapan perasaan  Prof.Agus Mulyana, M.Hum, Direktur Sejarah dan Permuseuman, Kementerian Kebudayaan RI, pada pembukaan pameran seni rupa "Sang Pangeran 2 Abad Perang Jawa" pada 20 Mei 2025 di Balai Budaya Jakarta.

(Foto: Muzlifah

"Perang Jawa terjadi karena Pangeran Diponegoro merasa  harga dirinya terinjak-injak akibat Belanda terlalu ikut campur dalam segala urusan kerajaan. Perang yang berlangsung pada tahun 1825 -- 1830 telah membuat Belanda nyaris bangkrut sehingga kemudian diterapkan sitem tanam paksa," lanjut Agus. Ditegaskannya pula, perang Jawa di bawah kepemimpinan Pangeran Diponegoro tidak hanya didukung oleh kerajaan Mataram, tetapi juga kerajaan-kerajaan lain di nusantara,  termasuk kerajaan Sunda.

Spirit perjuangan Pangeran Diponegoro terasa kental terlihat pada karya 33 pelukis berupa karya dua dimensi dan tiga dimensi. Sebagai contoh lukisan Joko Kisworo "Aji Roto 1824" (2025, 150x120 cm, akrilik di atas kanvas). Lukisan yang dari kejauhan laksana hanya sebidang kanvas ditutupi warna merah, menyimpan tekstur berupa guratan aksara Jawa yang bermakna "Setia dan berbakti kepada Tuhan Yang Melindungi seluruh kehidupan, rela, dan ikhlas dalam kematian; Berpegang teguh pada prinsip yang tidak dapat dibuang, tidak meninggalkan jejak buruk, dan tidak menimbulkan masalah; serta tidak mengubah naluri Jawa agar sejahtera".

Lukisan Joko Kisworo. (Foto: Muzlifah M)
Lukisan Joko Kisworo. (Foto: Muzlifah M)

Pernyataan tersebut diikrarkan pada tahun 1824 atau setahun sebelum pecahnya perang oleh  Pangeran Diponegoro, Paku Buwono VI (Sunan Banguntopo), dan Raden Tumenggung Prawirodigdoyo. Tujuannya hendak melawan dan memulihkan kedaulatan Kerajaan Mataram.

Perjuangan  Pangeran Diponegoro dan wong cilik  terlihat pula pada karya Kembang Sepatu "Lentera Zaman" yang terdiri sebuah lukisan menggambarkan Pangeran Diponegoro berjubah putih di atas kuda tengah mengangkat keris (120x150 cm, akrilik di atas kanvas) ditutupi untaian kain putih dan 33 lukisan kecil bergambar sandal jepit yang ditata berserakan di bawahnya.

Karya Kembang Sepatu. (Foto: Muzlifah M).
Karya Kembang Sepatu. (Foto: Muzlifah M).

Lukisan pertama dibuat Kembang Sepatu terinspirasi  peristiwa pengembalian  keris Pangeran Diponegoro  dari Pemerintah Belanda kepada Presiden Republik Indonesia pada 10 Maret 2020. Sementara itu, lukisan berobyek sandal jepit menginterpretasikan rakyat jelata yang senantiasa tertindas.

Yang juga menarik untuk diperhatikan karya Mas Wit "Ngimpi Kang Durung Pari Purno (Mimpi yang Belum Selesai)",  2025, 120x150, akrilik di atas kanvas. Sosok Themis atau Dewi Keadilan digambarkan bak terlilit naga yang menyemburkan api. Lukisan yang didominasi warna merah dan kuning keemasan terinspirasi perjuang Pangeran Diponegoro yang menekankan keadilan untuk rakyat jelata.

Karya Mas Wit. (Foto: Muzlifah M).
Karya Mas Wit. (Foto: Muzlifah M).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun