Warga desa tengah sibuk merakit perahu mereka. Banjir di perkirakan akan datang selepas magrhib. Pertanda dari Dewa Laut sudah tersiar sejak sepekan lalu. Semua tengah bersiap untuk kemungkinan terburuk.
Kakek Rega tengah mengemasi pakaiannya saat aku datang meminta paku. "Perahunya sudah jadi, kek?" Dahiku mengernyit, karena tak kulihat ada perahu di depan rumahnya. Mungkin di belakang atau di suatu tempat. Pikirku.
Dia menghentikan kegiatannya, sedikit kaget dengan kedatanganku. Oh ya-aku lupa memberitahu. Rumah Kakek Rega tanpa pintu, hanya tertutup horden maroon yang sudah pudar warnanya-mungkin menyerupai coklat sekarang. Dan, aku sudah terbiasa langsung masuk untuk menghantarkan sarapan.
  "Tidak ada perahu, wuk." Tangannya kembali melipat baju, dan memasukkannya ke dalam karung goni.
  "Banjir datang selapas magrib. Sebentar lagi. Kata Dewa Laut." Aku meyakinkan, bahwa Kek Rega sebenarnya sudah mengetahui hal ini.
  "Ya." Kini dia malah berjalan ke belakang. "Aku akan menumpang perahu."
  "Milik siapa?"
 "Keluarga Hedglhar." Aku lega mendengarnya. Perahu keluarga Hedglhar pasti besar dan muat untuk beberapa orang. "Ada perlu apa, wuk kemari?"
  "Hmm... aku memerlukan beberapa paku payung, kek." Kakek mengambil kotak perkakas dari lemari yang sudah menjadi rumah rayap itu. Dia menyerahkan sekotak utuh. "Dua saja, kek."
  "Bawa kotak perkakas ini. Kau akan lebih membutuhkan." Aku menerimanya. Isi kotak itu lengkap, dari paku berukuran kecil hingga besar. Dan ada peralatan tukang seperti palu, obeng, kawat, tersedia.  "Wuk, siapa yang membantumu membuat perahu?"
Bola mataku membesar seketika. Aku menggeleng. "Menumpang saja pada keluarga Hedglhar. Perahunya besar."