Fitur gacha, loot box, dan sistem pay-to-win dalam game online semakin sering ditemui dan semakin sering juga digunakan. Sayangnya, tidak semua orang sadar bahwa fitur-fitur ini sesungguhnya adalah bentuk perjudian terselubung. Fenomena ini kian mengkhawatirkan, terutama bagi Generasi Z yang tumbuh dalam budaya digital, dan sangat rentan secara psikologis maupun finansial.
Di Bojongsoang, Bandung, praktik ini tidak hanya marak, tetapi juga mengakar---remaja menghabiskan waktu di warnet untuk bermain, top-up berulang kali, bahkan menyembunyikan pengeluaran dari orang tua. Penelitian kami menemukan bahwa sebagian besar remaja rela merogoh kocek dalam demi item langka, tapi sering kali berakhir dengan rasa penyesalan dan tekanan mental.
Dunia Game atau Arena Judi? Â
Gacha dan loot box bekerja seperti judi: pemain membayar untuk kesempatan mendapatkan sesuatu yang langka, dengan hasil acak. Ini memicu ketagihan karena otak merespons sensasi 'hampir menang' dengan keinginan untuk terus mencoba. Saat gagal, remaja merasa kecewa, namun tetap ingin mengejar item yang belum mereka dapatkan.
Sebagian besar responden kami mengaku sulit berhenti, bahkan ada yang menggunakan uang jajan, pinjam dari teman, atau secara diam-diam minta tambahan uang ke orang tua.
Melanggar Nilai Pancasila? Â
Dari sudut pandang Pancasila, praktik ini jelas menyalahi nilai luhur bangsa:
Sila ke-1: Ketuhanan Yang Maha Esa -- Mayoritas agama melarang perjudian. Â
Sila ke-2: Kemanusiaan yang adil dan beradab -- Eksploitasi psikologis terhadap remaja melalui fitur adiktif jelas tidak manusiawi. Â
Sila ke-5: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia -- Ketimpangan ekonomi semakin lebar saat game ini menjerat anak-anak dari keluarga tidak mampu.
Dampak Finansial yang NyataÂ
Dalam wawancara kami, beberapa remaja mengaku pernah menghabiskan lebih dari Rp150.000 hanya dalam satu waktu untuk top-up, dan itu belum tentu berhasil mendapatkan item yang diinginkan. Tidak sedikit yang menyesal, tapi tetap melanjutkan karena tekanan sosial: tidak ingin ketinggalan dari teman.
Dari sisi SDGs, hal ini menghambat:
SDG 1: Tanpa Kemiskinan -- Uang habis untuk game, bukan kebutuhan utama. Â
SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera -- Stres dan kecanduan memengaruhi kesehatan mental. Â
SDG 4: Pendidikan Berkualitas -- Fokus belajar terganggu, uang untuk pendidikan jadi berkurang.
Apa yang Bisa Dilakukan? Â
Fenomena ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Dibutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak:
Edukasi literasi digital dan finansial sejak dini. Â
Regulasi yang tegas terhadap sistem game yang mengandung unsur perjudian. Â
Peran aktif orang tua dan pendidik dalam memantau aktivitas digital anak.