Mohon tunggu...
Nurul Mutiara R A
Nurul Mutiara R A Mohon Tunggu... Freelancer - Manajemen FEB UNY dan seorang Blogger di www.naramutiara.com

Seorang Perempuan penyuka kopi dan Blogger di http://www.naramutiara.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tentang Rumah dan Cerita-Cerita di Dalamnya

24 Mei 2022   07:36 Diperbarui: 24 Mei 2022   07:42 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Seputargk.id/foto oleh Riswanto

Saat aku kecil, tiap kali orang bicara tentang "Rumah", otakku selalu melayangkan pikiran pada sebentuk bangunan dengan atap berlapis genteng dan alas berupa ubin berbentuk persegi. Selalu muncul bayangan itu. Hingga suatu hari, dalam pelajaran Bahasa Inggris di SMP, guruku pernah bertanya, 

Apa bedanya Home dengan House?

Guruku menjelaskan bahwa house lebih ke bangunan fisik sebuah rumah, seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Namun berbeda dengan home. Home bukan hanya bicara tentang bangunan fisiknya saja, tetapi lebih pada sisi emosional sebuah tempat.

Kita bahkan bisa menyebut kata "Home" saat hendak pulang ke kampung halaman ketika sudah lama berada di daerah rantau. Dari sini, kita sudah menilai home berarti pulang ke rumah dengan mengikutsertakan emosi dalam diri tiap manusia.

Jujur, ketika beliau menjelaskan keduanya, aku benar-benar tak paham. Sisi emosional seperti apa yang harus kuketahui sehingga aku bisa menyebut tempat tinggalku dengan sebutan home dibanding house. 

Satu dekade berlalu, ketika usiaku bertambah dewasa, aku mulai paham apa yang dimaksud dengan house dan home. Aku seolah merasakan sendiri bagaimana house selama ini masih menjadi bagian dari kehidupanku. 

Aku merasa belum memiliki sisi emosional pada tempat yang aku tinggali. Mungkinkah aku belum menemukan home atau rumah yang tepat? Entahlah. Aku kadang ingin menciptakan rumahku sendiri yang penuh sapaan hangat, kebersamaan hingga cinta.

Dua Sudut Pandang Manusia tentang Rumah

Suatu hari, aku menemukan dua kawan yang berbeda latar belakang. Kawan A dilahirkan dari keluarga yang menyenangkan. Ia memiliki orang tua lengkap, finansial bagus dengan pola asuh yang baik dari kedua orang tuanya. 

Sedang Kawan B, ia berasal dari keluarga yang bermasalah. Orang tuanya telah bercerai dan sibuk urusan masing-masing. Ia tak memiliki feeling apapun tentang keluarga. 

Kepo, aku pernah bertanya pada mereka masing-masing. Tentunya melalui perbincangan hangat dan renyah sehingga keduanya mau bercerita semengalir mungkin. 

Kawan A selalu rindu pulang ke rumah, tak bisa jauh dari rumah walau hanya beberapa hari, homesick istilah kerennya. Kawan A selalu riang ketika bercerita tentang ibunya yang hangat. 

Beliau suka memasak makanan yang enak, selalu memberi nasehat-nasehat baik dan tiap hendak kembali merantau, orang tua kawan A selalu menghadiahi beragam makanan dan sembako untuk hidup di tanah rantauan. Bapak kawan A selalu menyempatkan pergi toko makanan hanya untuk memastikan anaknya tidak kelaparan di kota rantau.

Berbeda dengan kawan B. Saat libur semester, ia selalu memilih tetap berada di kampus atau kos ketimbang pulang ke kampung halamannya. Menurut dia, rumah tak pernah menjadi surga baginya. Dia selalu merasa tertekan bila bertemu dengan ayah tirinya yang berwatak keras.

Dua pengalaman kawanku ini seolah menggali kembali ingatan tentang makna Home dan House. Kedua kata ini seolah memiliki arti yang sama tetapi kenyataan punya makna dan rasa yang berbeda. 

Mau menciptakan Rumah seperti Apa Nantinya?

Menjadi penghuni rumah yang penuh dengan tekanan memang menyiksa batin. Apalagi bila kunci utama dari rumah yakni orang tua tak mampu menawarkan kewarasan bagi mental penghuninya. 

Lalu bagaimana bila itu sudah terlanjur terjadi? Maksudnya bagaimana bila kita terlanjur memiliki orang tua yang tak mampu memberikan kehangatan khas "Home" pada diri kita.

Beberapa artikel yang kubaca memberikan seutas tips, namun yang paling aku garisbawahi adalah menyoal menjaga kewarasan diri terlebih dahulu. Tawakal terhadap kondisi yang telah terjadi. 

Tawakal disini bukan berarti kita menerima apapun ketoxican yang orang tua torehkan. Tapi lebih pada menjaga kesehatan mental diri sendiri dan memutus mata rantai yang bermasalah.

sumber gambar: ide.grid
sumber gambar: ide.grid

Mengapa kesehatan mental diri sendiri perlu dijaga? Sebab, kitalah kunci selanjutnya untuk menjadi calon orang tua. Menciptakan surga di dalam sebuah rumah. Membuat anak merindukan masakan-masakan tiap ingat rumah. Memang itu tak akan semudah membalikkan telapak tangan. Namun, melalui proses belajar yang panjang dan keras, aku yakin semuanya bisa menjadi mungkin.

Hendak membentuk rumah seperti apa, tiap individu yang menentukan. Apakah nantinya akan disebut sebagai "home" atau "house", semua bermula dari perencanaan keluarga dan kesehatan mental yang baik.

Tentang rumah dan cerita-cerita di dalamnya, mari membentuk kehangatannya sejak dini. Mulai dari memilih siapa yang akan tinggal, dan karakter seperti apa yang hendak dibangun. Semuanya, bermula dari pilihan-pilihan kita bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun