Bagi mereka yang awam dengan dunia permusikan, musik mungkin hanya berfungsi sebagai hiburan lintas waktu yang bisa disetel kapan saja menggunakan platform berbayar atau gratisan. Tapi lebih dari itu, musik sebenarnya memiliki fungsi lain yang cukup penting. Yakni sebagai alat komunikasi, penghubung antara manusia dan dunia.
***
Hari itu Pekalongan masih gerimis tatkala sebuah notifikasi dari whatsapp berdenting. Sebuah chat dari seorang kawan satu komunitas terlihat menyembul di bagian atas ponsel. Tertulis Mba Agustina. Mba Agustina ini mengirimkan kabar bahwa saya menjadi salah satu dari 10 pemenang blog competition “Sound of Borobudur” yang diselenggarakan 17 April-16 Mei 2021 lalu.
Bahagia? Jelas. Bagi saya yang sudah lama “ngendon” di rumah akibat menghindari penularan Korona, tentu merasa begitu sumringah. Setidaknya saya tahu bahwa nanti, kaki dan tubuh ini akan diajak untuk bergerak, menikmati area Borobudur dan segala hal yang menaunginya pada tanggal 23-27 Juni 2021.
Lebih dari itu, sebenarnya ada hal yang lebih saya idamkan dan menjangkau relung pikiran paling dalam. Saya berkesempatan mengikuti konferensi internasional Sound of Borobudur di Magelang. Sebuah event yang tentu saja tak terjadi setiap hari dan jarang ditemukan. Darinya, akan banyak pengalaman baru yang bisa diunduh dan diceritakan dalam bentuk tulisan.
Dengan semangat membara, saya persiapkan semuanya mulai dari pakaian, printilan menginap dan sebuah koper warna hitam ukuran 24 inci yang siap menemani saya bertualang selama 5 hari. Wahai koper traveling, siapkah kamu menemani saya menjejak? Dia menggangguk.
***
International Conference Sound of Borobudur
Alat-alat musik itu mulanya terukir membisu pada relief-relief Candi Borobudur. Tak ada yang peduli dan tak ada yang mencari tahu alasan mereka bisa berada di sana.
Biasanya, pengunjung yang hadir hanya sekelebat berhenti, memainkan jepretan ponselnya sambil sesekali bilang 'Cheers'. Lekas itu, mereka pergi, bergegas mencari spot baru yang bisa dijadikan postingan ciamik di media sosial. Lantas, apakah itu hal salah? Tentu saja tidak, Sayang!
Bagi wisatawan awam, menganggap Candi Borobudur sebagai spot berfoto memang sah-sah saja. Apalagi tempat tersebut masuk menjadi destinasi super prioritas yang berarti diunggulkan untuk tujuan wisata turis lokal maupun mancanegara.
Kalau dipikir, wajar bila wisatawan lokal tak memahami sisi lain yang tersemat dalam diri Candi Borobudur. Literasi mengenai Borobudur atau relief-relief yang terpahat pada dindingnya memang belumlah kuat dibahas.
Tidak banyak buku-buku pelajaran yang mengudar Borobudur dari perspektif lebih intens. Misalnya mengkritisi bahan makanan, binatang-binatang, pepohonan atau alat-alat musik pada relief yang tertatah. Padahal, bisa jadi kala itu Borobudur pusat musik dunia yang selalu didatangi bangsa-bangsa lain.
Selama 2 dekade lebih hidup di dunia, saya bahkan baru tersadar bahwa Borobudur menyimpan relief yang menggambarkan beberapa alat musik yang bila dihitung jumlahnya mencapai 200 lebih dengan berbagai jenis penggunaan, entah ditiup, petik, dan pukul.
Luar biasanya, beberapa relief alat musik tersebut berhasil dihidupkan oleh Trie Utami, Purwacaraka, Dewa Budjana, dan musisi hebat lainnya melewati perjalanan senyap dan kosong. Syahdan, alat-alat musik yang telah hidup itu kemudian dimainkan secara cantik pada International Conference Sound of Borobudur, 24 Juni 2021 lalu.
Mengusung tema Music Over Nations : Menggali Jejak Persaudaraan Lintas Bangsa melalui musik, acara dibuka oleh Sandiaga Uno selaku Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia. Yang kemudian dilanjutkan oleh Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah, Purwacaraka selaku Ketua dari Yayasan Padma Sada Svargantara, Addie MS selaku pendiri Twilite Orchestra dan Tantowi Yahya selaku Duta Besar LBBP RI.
Dari konferensi internasional ini terbentuk diskusi hangat tentang merangkai kembali hubungan antar bangsa lewat alat musik yang tertatah di relief Candi Borobudur serta membicarakan potensi Sound of Borobudur sebagai sound destination, cara baru menikmati wisata yang mengedepankan cipta, rasa dan karsa lewat alunan musik.
Konferensi Internasional Sound of Borobudur menghadirkan tamu dari berbagai latar belakang. Ada akademisi, praktisi, musisi, etnomusikologi, birokrat, perwakilan dari UNESCO dan para jurnalis maupun bloger melalui kanal luring hingga daring. Untuk hadirin yang berada di negara lain, tetap bisa menyaksikan kehadiran event ini melalui aplikasi zoom hingga kanal youtube.
Penghelatan ini tentu tak bisa dikatakan berskala internasional tanpa sentuhan negara lain. Yap, ada penampilan 11 musisi dari 9 negara memainkan alat-alat musik yang tertatah di Candi. Mereka berkolaborasi apik untuk membunyikan komposisi musik Sound of Borobudur.
Bukan hanya itu saja, dihadirkan pula Prof. Emerita Margaret Kartomi, Guru Besar di Sir Zelman Cowen School of Music and Performance, Monash University, Australia dan Moe Chiba selaku perwakilan dari UNESCO untuk memperkaya pandangan para tamu mengenai musik.
Setelah puas dengan sesi webinar dan tanya jawab dengan para pakar, sekitar pukul 15.32 wib, pembawa acara mulai mempersilahkan para musisi Sound of Borobudur memasuki panggung. Mereka bakal memperlihatkan permainan secara ansambel. Saya dan para tamu terlihat antusias. Sampai-sampai, kami berjejal merapat ke bagian depan panggung. Tentu saja, dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.
Alunan musik yang dimainkan secara harmonis itu begitu mengalun indah. Menyihir tiap mata dan telinga yang mendengar. Para hadirin seolah-olah menari diam bersamaan dengan harmoni yang dimainkan Trie Utami, Dewa Budjana, Vicky Sianipar, Samuel Glenn, Nurkholis, Uyau Morris, dan Ivan Nestorman di atas panggung.
Saya menangis sesak. Bukan karena sedih, tetapi merasa haru. Musik seolah membawa pikiran saya memasuki alam bawah sadar. Menjelajah dimensi waktu di abad ke 8. Bisa jadi, kala itu hal semacam inilah yang terselenggara di pelataran Candi tatkala Pramodhawardani meresmikan bangunan yang semula bernama Bhumi Sambhara Bhudara ini.
Lantunan Sound of Borobudur mampu memainkan imajinasi serta emosi saya untuk tak berhenti membayangkan cerita mengenai Mataram Kuno. Selain itu, melaluinya terbentuk spirit baru yang indah, harmoni antar manusia dalam memainkan musik dan menyuarakan perasaan melalui bunyi.
Ivan Nestorman. Musisi yang berasal dari Flores, NTT ini sempat membuat saya merinding. Alunan suara khasnya sanggup membuat saya menangis tanpa suara. Ada sensasi spiritual yang tak bisa dijelaskan menguar begitu bebas ketika ia bernyanyi, sembari memainkan Sasando di tangannya.
Luar biasa! Inikah salah satu hubungan yang bisa terjalin antara musik dan manusia?
Ketika Musik Menghubungkan Manusia dan Dunia
Musik adalah keajaiban. Ia mampu mengobrak-abrik hati manusia. Mempengaruhi mood dan alam bawah sadar sehingga bisa bergerak atau bertindak. Coba saja, tiap kali merasa sedih atau bahagia, genre musik yang diputar pun akan berubah. Ia mengikuti irama hati pendengarnya.
Hari itu, kala Sound of Borobudur Orchestra melantunkan lagu, emosi dalam diri saya membuncah. Tak ada alasan khusus, tiba-tiba, jantung berdegup kencang. Air mata keluar membasahi pipi. Kalau kata Pak Menteri Sandiaga Uno, mbrebes mili (menangis).
Melalui alunan lagu yang dimainkan, seolah ada pesan-pesan yang hendak disampaikan. Sebuah bahasa yang tak terlihat namun terkirim dengan begitu cepatnya ke perasaan. Jalan sunyi yang telah mereka (Trie Utami, Purwacaraka, Dewa Budjana dkk) tempuh sedikit banyak menguak sejarah musik di masa lalu. Sungguh, wonderful Indonesia!
Hubungan antara musik dan manusia ini pulalah yang membuat negara mulai hadir. Musik telah masuk ke relung hati para punggawa negeri. Mereka bersedia mendukung keberlanjutan Sound of Borobudur sebagai inisiator yang mampu membangkitkan kesadaran kita mengenai peradaban nusantara masa lalu.
Dari sound of Borobudur, saya bisa melihat dukungan yang besar dari negara lain. Mereka menyambut baik penyelenggaraan konferensi untuk melihat keajaiban bunyi dari batu-batu mati ratusan tahun silam. Ya, musik telah menghubungkan Indonesia dengan negara lain.
Bagi saya pribadi, musik telah menghubungkan banyak hal. Kebahagiaan, kesedihan, kesuksesan dan juga orang-orang yang saya temui. Saya bisa menjejak di Konferensi Internasional Sound of Borobudur juga merupakan kejaiban musik yang menghubungkan saya dengan tulisan yang saya buat.
Percaya atau tidak, setiap kali saya hendak menulis, saya selalu membunyikan musik genre orchestral melalui ponsel saya. Musik itu seolah-olah mengantarkan ide-ide baru.
Memberi ruang bagi saya untuk berpikir jernih. Mood baik saya bergejolak dan ia pun menuntun saya untuk bertemu Ivan Nestorman. Musisi yang pernah membuat saya menangis karena lagu "Soia Nera" yang pernah ia nyanyikan bersama almarhumah Dylan Sada. Saya juga baru menyadari ketika berada di kereta. Tepatnya saat perjalanan pulang tanggal 27 Juni 2021.
Kala itu, tiba-tiba saya ingin mendengar lagu Soia Nera yang pernah populer tahun 2006-2007 karena diputar tiap malam untuk sebuah iklan produk komersial. Setelah saya amati penyanyinya, tertulis nama Ivan Nestoman dan Dylan. Apa!! Bukankah itu Ivan yang berfoto di belakang saya saat konferensi?
Bagaimana mungkin? Setelah hampir 15 tahun saya berkeinginan bertemu dengan sang penyanyi lagu epik tersebut. Pada akhirnya secara tak sadar, Tuhan mempertemukan. Lagi-lagi, melalui musik, melalui Sound of Borobudur.
Andai Trie Utami dkk tak berinisiatif menghidupkan relief di Borobudur, mungkin saya juga tak akan pernah menjejak ke Magelang, begitu pun dengan Ivan Nestorman dan musisi lainnya.
Dari sanalah saya sadar bahwa musik adalah alat komunikasi. Ia mampu menghubungkan hati manusia satu sama lain meski tak pernah bertemu. Ia bergerak lintas tempat dan waktu, menghubungkan banyak hal termasuk persaudaraan negeri ini dengan dunia. Keajaiban musik memang luar biasa.
Now, I just wanna say, Sound of Borobudur, I Love You!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI