"Selamat bertambah usia, Cintaku.." Saya mengusap pusara itu dengan lembut. Menyalurkan sarat rindu yang menumpuk numpuk setelah di pupuk sekian waktu. "Ai, saya rindu." Begitu kalimat yang selalu saya ulang-ulang setiap sekon setelah kehilangan Aila. Saya memahami semesta. Dia, memang anitya. Tapi cinta saya akan tetap ada. Selalu, dan selamanya. Saya rindu ketika dia berkata dengan setengah lingkaran 180° menghiasi bibir indahnya kalau baru mengganti parfum baru. Saya suka semua aroma darinya.Â
"Ai, boleh kan jikalau saya ikut ke mahligai mu?" tanya saya pada pusara Aila.Â
"Saya lelah di rundung sepi. Saya lelah sendiri. Kamu kan sudah berjanji. Kita akan bersama hingga mati."Â
Saya tahu tidak akan ada jawaban lagi dari kanvas yang selalu melukiskan senyum. Meski saya tidak pernah melihatnya. Dahulu saya buta. Semua buana saya kelam dan gelap gulita. Ketika Aila hadir menjadi lentera. Ketika wanita itu menuntun saya berjalan ke arah tujuan. Saya yakin ia secantik nirmala. Atau mungkin dia turun dari nirwana untuk saya. Aila selalu persistensi menjaga saya. Saya yang kadang merapalkan kalimat ingin mati atau bunuh diri. Karena mendapatkan mata yang tidak berguna ini. Kala itu, Aila merengkuh tubuh saya. Bisa saya rasakan gadis itu pun ikut pilu. Ayar matanya jatuh membasahi pundak saya. Jemarinya mengusap pelan menyalurkan kekuatan kepada atma saya.Â
"Tidak apa jika matamu tidak berguna. Satu kekurangan, tidak pernah menjadikan dirimu hina. Sengkala."Â
Aila selalu mengatakan, bahwa buana itu indah. Tentang hujan, tentang senja, tentang berbagai hal yang tak bisa saya lihat. Dengan harsa saya akan membuka telinga lebar untuk mendengar tiap inci yang ia jelaskan. Saya akan begitu menikmati untaian kata demi kata yang terucap dari bibir mungilnya, dan membayangkan betapa indah sesuatu yang sedang ia jelaskan. Dama yang ia berikan untuk saya, begitu terasa. Begitu hangat, begitu tulus.Â
"Aku akan menjadi matamu. Akan ku ceritakan apa yang aku lihat tentang semesta. Tentang kehidupan ini agar kau bisa menerka bagaimana indahnya buana. Bagaimana indahnya senja yang tiap petang kita nikmati bersama. Tentang laut yang deburannya kita dengar berdua. Tentang betapa indah hujan yang membasahi kita, kala kita menari seperti orang gila di tengahnya. Jikalau seandainya kau pun tidak memiliki tangan, maka aku akan menjadi tanganmu. Aku akan selalu menjadi kamu. Atma kita akan melebur dan menjadi eka, Sengkala."Â
Saya kembali bernostalgia sepuluh sekon saat sekelebat memori itu menari di otak saya.Â
"Kenapa Ai? Kenapa kamu tidak memperbolehkan saya melihat wajah sempurna mu barang satu kali?" tanya saya padanya.Â
Saya tersenyum kecut. Ingin rasanya mencongkel sepasang mata ini keluar. Untuk apa bisa melihat, yang ingin saya lihat saja kini t'lah gata.Â