Angin malam berembus, menerpa tubuh   Moza yang berdiri di depan jendela kamarnya di lantai dua. Pemandangan tampak indah. Langit hitam pekat bertabur bintang, serupa ketombe yang jatuh di punggung Fauzan. Gadis itu tersenyum geli sendiri. Dengan pikirannya yang menyamakan punggung pemuda itu dengan wajah langit malam ini.
Musik gamelan dari desa sebelah sayup-sayup memecah keheningan. Mengusik ingatannya akan sepasang pengantin yang duduk di pelaminan. Nyeri pelan menusuk ulu hatinya, mengingat dulu ia sempat merasakan bagaimana duduk di sana.
Tangan kanan Gadis itu mengusap pundak, perlahan turun ke lengan dan berakhir diam bersidekap menghalau dingin. Sepi, semakin terasa berat menghimpit perasaan.
*Malam ini ku sendiri
Tak ada yang menemani
Seperti malam malam
Yang sudah sudah*
"Sial!"
Moza mengumpat sambil menutup jendela, ketika tiba-tiba suara anak-anak yang nongkrong di warung kopi terdengar. Ia merasa bodoh jika tersinggung dengan nyanyian mereka yang seakan menyindir keadaannya. Namun, ia juga tak bisa menepis perasaan mengasihani diri sendiri. Ngenes.
"*Tuhan kirimkanlah aku
Kekasih yang baik hati
Yang mencintai aku
Apa adanya.*
 " Huaaah!"
Tanpa sadar, Moza mengikuti nyanyian itu dan berteriak saat menyadari kebodohannya sendiri. Ia kemudian menjatuhkan tubuhnya ke ranjang, dan menutup telinganya dengan bantal.
*****
Minggu pagi seperti biasanya, Moza dengan stelan khas pesepeda berkeliling berkeliling kota dan klimaksnya ia istirahat di samping air mancur di tengah Taman. Menikmati suasana liburan dengan memuaskan hobinya menangkap matahari pagi dengan kameranya.