Wiwin merapatkan tangannya di dada, lututnya ditekuk hingga ke perut, Â meringkuk persis kuda nil. Pandangannya tak lepas pada Sang penguasa malam. Gadis kecil itu tersenyum, melihat sosok wajah ibunda melambai ke arahnya.
"Nak, masuk yuk!" Suara lembut Sang ayah sedikit mengagetkannya.
"Sebentar lagi, Ayah." Gadis kecil itu beringsut, duduk merapat ke samping lelaki berwajah sendu.
"Ayah, kapan Ibu pulang? Apa, Ibu lupa sama, Win?" Polos pertanyaan putri semata wayangnya menyayat hati Parmo.Â
"Sayang, lihatlah bulan di atas sana. Setiap malam Ibumu juga melihat bulan yang sama. Itu artinya dia juga mengingatmu, mengingat wajah, Win yang secantik rembulan." Jauh pandangan lelaki itu menerawang bulan purnama. Jauh tatapan nya sejauh harapan bertemu Sang istri tercinta.Â
Mendengar ucapan Ayahnya, gadis kecil itu tersenyum bahagia.
"Ayah, lihatlah! Ada gadis kecil duduk di pangkuan wanita cantik. Apa, Ibu dulu  menggendong Win seperti itu," ucap Win girang.
Parmo terkekeh sambil menatap bulan, menahan bulir bening tetap berada di kelopak mata. Lelaki itu terbatuk menahan sesak di dada. Sakit, ulu hatinya seakan tertusuk Ribuan jarum, kala mengingat tentang Murni. Wanita yang ia biarkan pergi karena ketidak berdayanya sebagai lelaki.
"Masuk dan tidurlah Nak, kalau Ibu tahu kamu tidur selarut ini pasti dia akan marah." Lembut ucap Parmo setengah berbisik, sambil membelai kepala putrinya.Â
"Iya, Ayah. Win gak mau Ibu marah. Bilang sama Ibu, Win anak baik, jadi suruh Ibu pulang, Win kangen Ibu." Gadis itu memeluk ayahnya erat, kemudian berlari ke dalam rumah.
Parmo menatap kepergian putrinya hingga menghilang di balik pintu. Lintasan masa lalu terlihat jelas dalam ingatan.Â