Mohon tunggu...
Mustika D. Shinta
Mustika D. Shinta Mohon Tunggu... Pelajar

A literacy enthusiast committed to expressing thoughts that matter to the younger generation

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Saat Genre Musik Diadili oleh Stigma Sosial

16 Mei 2025   13:07 Diperbarui: 16 Mei 2025   17:29 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Dangdut dan stigma.Sumber: AI OpenAI

Guys, kenapa ya, kok masih ada aja orang yang nganggep musik dangdut itu kampungan, norak, atau bahkan dianggap sebagai kasta terendah dalam dunia musik? Padahal, dangdut itu bagian dari budaya kita sendiri, lho. Musik yang lahir, tumbuh, dan berkembang di tengah masyarakat Indonesia. Tapi anehnya, setiap kali ada yang nonton konser dangdut atau nyetel lagu dangdut keras-keras, langsung deh muncul komentar negatif: “alay”, “kampungan”, “nggak ada selera musik”, dan sebagainya.

Lucunya, kalau yang diputar musik jazz, klasik, atau indie, persepsinya langsung beda. Tiba-tiba dianggap keren, puitis, punya selera tinggi. Bahkan, dalam beberapa tongkrongan, preferensi musik seseorang bisa bikin dia "diakui" atau justru dijudge. Ada apa, sih, dengan cara pandang kita soal musik? Kok kayaknya masih terjebak sama "strata"?

Yup, di masyarakat kita, masih banyak yang ngelihat musik dari kacamata kelas sosial. Seolah-olah musik pop, jazz, indie, atau klasik punya tempat lebih tinggi dibanding dangdut. Padahal, musik itu bukan soal gengsi, tapi soal rasa. Tentang bagaimana irama dan lirik bisa nyambung sama hati dan pengalaman hidup kita. Nggak ada satu pun genre yang lebih “bernilai” daripada yang lain hanya karena tampilannya beda atau penikmatnya berasal dari kelas sosial tertentu.

Dangdut sendiri punya karakter yang kuat dan khas. Nadanya enerjik, gampang diingat, dan bikin orang ikut goyang. Tapi di balik itu, lirik-liriknya sering kali sederhana namun mengena. Banyak lagu dangdut yang nyeritain soal kehidupan nyata: perjuangan, cinta bertepuk sebelah tangan, rindu orang tua, kerasnya kerja demi sesuap nasi, sampai kritik sosial yang tajam. Itulah kenapa dangdut bisa begitu dekat dengan masyarakat. Ia lahir dari akar rumput, tumbuh dari suara rakyat.

Coba deh dengerin lagu-lagu dari Rhoma Irama, Elvy Sukaesih, Rita Sugiarto, sampai generasi sekarang seperti Via Vallen, Nella Kharisma, Happy Asmara, Denny Caknan, dan Yeni Inka. Lirik-lirik mereka bukan cuma buat senang-senang, tapi juga membawa pesan. Lagu “Begadang” bukan sekadar lagu asyik, tapi punya makna mendalam soal pentingnya menjaga kesehatan. “Darah Muda” menyentil semangat dan emosi anak muda. Lagu-lagu dari Happy atau Denny banyak bicara soal perasaan anak muda hari ini—cinta yang ribet, perasaan yang nggak tersampaikan, atau kesedihan yang diam-diam.

Lihat aja lagu "Ojo Dibandingke" yang sempat viral beberapa waktu lalu. Lagu ini sederhana, tapi pesannya kuat banget—tentang perasaan seseorang yang nggak mau dibanding-bandingkan dalam hubungan. Liriknya relate, bahasanya ringan, dan nadanya gampang diingat. Lagu ini nggak cuma populer di panggung hajatan atau TikTok, tapi juga dinyanyiin sama berbagai kalangan, dari anak kecil sampai orang dewasa. Bahkan, lagu ini sempat dibawakan di acara resmi kenegaraan. Ini bukti kuat kalau dangdut bisa menyentuh siapa saja, kapan saja, di mana saja.

Yang sering dilupain, musik itu hidup. Ia bergerak, berubah, menyesuaikan zaman. Dangdut pun begitu. Dulu identik dengan musik orkes melayu, sekarang ada dangdut koplo, dangdut remix, dangdut-pop, bahkan kolaborasi dengan EDM. Ini bukti kalau dangdut bukan musik kuno yang diam di tempat. Ia justru berkembang, bereksperimen, bahkan berinovasi untuk tetap relevan dengan zaman dan selera generasi muda.

Tapi meski begitu, label “kampungan” masih aja nempel. Seolah-olah musik itu harus keren secara visual, harus estetik, harus tampil di panggung megah, baru bisa dihargai. Padahal yang kampungan itu bukan musiknya, tapi cara kita menilai. Kita sering terlalu silau sama hal-hal yang kelihatan modern, barat, atau “mahal”, dan lupa menghargai yang lokal, yang merakyat, yang dekat sama kehidupan kita sendiri.

Dangdut itu sangat Indonesia. Ia bukan cuma genre, tapi warisan budaya. Ia hadir di pesta rakyat, di hajatan, di pasar malam, di jalan-jalan, di angkringan, di warung kopi. Musik ini bukan cuma hiburan, tapi bagian dari denyut nadi kehidupan sehari-hari. Dari Sabang sampai Merauke, dangdut punya tempat di hati banyak orang. Dan itu bukan hal yang memalukan.

Jadi, yuk mulai ubah cara pandang. Hargai semua genre musik, termasuk dangdut. Jangan remehkan karya hanya karena tampilannya sederhana atau karena dianggap "kampung". Jangan hakimi orang dari selera musiknya. Karena pada akhirnya, musik adalah tentang rasa—dan rasa itu nggak pernah salah. Setiap nada punya cerita, setiap lagu punya makna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun