Mohon tunggu...
M Mushthafa
M Mushthafa Mohon Tunggu... lainnya -

Guru SMA 3 Annuqayah, salah satu sekolah di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep. Berlatar belakang pendidikan pesantren, lalu belajar filsafat dan etika terapan. Saat ini, selain mengajar, aktif di pendampingan kegiatan kepenulisan dan literasi serta kegiatan peduli lingkungan di sekolah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Problem Etis dalam Pembiayaan Pendidikan: Pemiskinan Negara, Kepentingan Publik, dan Otonomi Pendidikan Masyarakat

17 September 2010   00:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:11 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menteri Agama, Suryadharma Ali, pernah menyatakan bahwa dari 41 ribu madrasah yang ada di Indonesia, 92 persen di antaranya dibangun pihak swasta—hanya 8 persen yang dibangun oleh pemerintah. Di beberapa daerah, mayoritas madrasah didirikan oleh kiai dengan tujuan mengabdi untuk kepentingan masyarakat (Kompas, 15/5/2010).

Keterlibatan kiai atau pesantren dalam proses pendidikan di Indonesia sebenarnya memiliki akar historis yang panjang. Kita tahu bahwa cukup banyak pesantren di Indonesia yang berdiri sejak paruh kedua abad ke-19 yang lalu dan punya andil yang besar dalam proses pendidikan di masyarakat. Menurut Gus Dur, pesantren mula-mula berfungsi sebagai instrumen islamisasi, tapi kemudian beralih ke fungsi kemasyarakatan yang lebih luas, yakni dengan terlibat dalam proses transformasi kultural yang bersifat total. Ini tergambar dari kisah para kiai yang dengan sengaja mendirikan pesantren dengan sengaja di daerah-daerah “hitam” pinggiran kota (Wahid, 2001: 93).

Sebagai unit kultural, pesantren sering pula digambarkan berperan sebagai subkultur. Pesantren memiliki kelengkapan nilai, bangunan sosial, dan tujuan-tujuannya sendiri. Gus Dur menyebut tiga nilai utama di pesantren, yakni (1) cara memandang kehidupan secara keseluruhan sebagai ibadah; (2) kecintaan pada ilmu-ilmu agama yang tertanam begitu kuat; dan (3) ketulusan bekerja untuk tujuan bersama. Dalam konteks pendidikan, posisi pesantren sebagai subkultur pada tingkat tertentu menunjukkan adanya watak mandiri (otonomi) pesantren, baik menyangkut sistem dan struktur pendidikan (Wahid, 2001: 97-103).

Interaksi pesantren sebagai subkultur dengan institusi lain di luarnya, termasuk negara, sangat menarik untuk diamati. Saat ini, cukup banyak pesantren telah melakukan sejumlah kompromi utamanya dengan negara terkait dengan pengelolaan pendidikan. Masuknya sistem pendidikan formal ala negara, dengan berbagai konsekuensinya, pada satu sisi memperlihatkan lenturnya watak mandiri (atau otonomi) pesantren dalam mendefinisikan dan mengelola sistem pendidikan yang dimilikinya.

Jika hal semacam ini digambarkan sebagai bentuk akomodasi pesantren atas aspirasi masyarakat agar pendidikan yang diikutinya di pesantren juga masuk dalam pengakuan formal negara, maka ini mungkin dapat dilihat sebagai—apa yang oleh Gus Dur disebut—contoh keterbatasan watak subkultur pesantren. Mungkin situasi ini dapat pula digambarkan sebagai keadaan ketika sebuah pesantren tak mampu melaksanakan tugas transformasi kulturalnya secara total, sehingga ia justru akan ditransformasikan oleh keadaan atau institusi lain di luarnya (Wahid, 2001: 102).

Terkait dengan pembiayaan pendidikan, saat ini sangat banyak lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat (swasta), termasuk juga pesantren, yang menikmati gelontoran dana dari pemerintah. Pertanyaan reflektif yang dapat diajukan adalah: seberapa jauh hal tersebut memengaruhi watak dan terutama nilai-nilai utama pendidikan yang sebelumnya menjadi pedoman lembaga tertentu yang dimiliki oleh masyarakat (seperti pesantren)?

Pada titik inilah soal partisipasi masyarakat menemukan poin pentingnya untuk didiskusikan lebih mendalam. Negara memang punya kewajiban untuk membiayai pendidikan (atau, secara umum, menyediakan pendidikan bagi setiap warga negara). Akan tetapi, kewajiban dan wewenang negara ini haruslah diberi batasan dan kerangka yang jelas.

Secara umum, perlu ditegaskan bahwa fungsi negara pada dasarnya bersifat subsider. Negara bukanlah tujuan dalam dirinya sendiri. Ia dibuat untuk mendukung upaya masyarakat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Negara harus memberi ruang kepada masyarakat (dan anggota-anggotanya) untuk mengurus dirinya sendiri, termasuk dalam hal menentukan apa yang mereka butuhkan. Jika wewenang negara tidak dibatasi dan meliputi semua segi kehidupan masyarakat, maka itu disebut negara totaliter. Negara totaliter menyangkal asumsi bahwa ia hanya pelengkap usaha masyarakat dan bahwa masyarakat memiliki hak moral untuk mengurus dirinya masing-masing (Magnis-Suseno, 1994: 178-179).

Negara memang harus memenuhi kewajibannya membiayai pendidikan. Tapi masyarakat harus diberi otonomi dalam mendefinisikan pendidikan macam apa yang mereka butuhkan. Jika negara membiayai pendidikan, dan pada saat yang sama menggerogoti partisipasi masyarakat, dan kemudian mengharuskan pengelolaan pendidikan sepenuhnya berada dalam kewenangannya, maka kepentingan publik bisa saja terancam.

Ancaman atas kepentingan publik ini menjadi semakin kuat jika kita menempatkan posisi negara yang dalam konteks globalisasi cenderung tunduk pada kepentingan lain, entah itu korporasi atau pemegang kapital, atau institusi lainnya yang pada tingkat tertentu mengisyaratkan lemahnya kedaulatan suatu negara. Dalam situasi seperti inilah, pendidikan bisa saja berbalik arah dan justru mendukung proses pemiskinan.

Pendidikan dan Pemiskinan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun