Saya terbengong-bengong menyaksikan tayangan metrotv. Sambil mengucek-ngucek mata, saya tidak percaya.
Bagaimana mungkin. Seorang perempuan dari kalangan elite rela menyusuri jalan kumuh, becek dibawah jembatan layang. Rela mengajar tanpa pamrih. Bahkan rela mengeluarkan uangnya sendiri. Apakah tidak mau menikmati kekayaan dari suaminya yang terpandang ?
Saya kemudian menyebutkan sebagai "orang gila'. Orang gila yang tidak mau memikirkan perkataan orang lain. Dan lebih mementingkan nuraninya. Untuk mengajar apa yang bisa dilakukan.
Kisah yang lain. Seorang bapak tua. Yang rela setiap hari menanam pohon disekitar Desanya yang tandus. Sendirian. Selama 30 tahun lebih.
Tidak perlu banyak teori mengapa dia melakukannya. Hanya sederhana. Agar hutan disekitar desanya kembali rimbun.
Kisah-kisah tentang anak muda yang rela membuat perpustakaan didesa. Atau seorang pedagang kecil yang membangun sekolah untuk anak-anak disekitarnya adalah kisah-kisah "orang gila'. Orang gila yang kemudian kita sadar. Mengapa Indonesia begitu kaya mempunyai "orang gila".
Di Jambi sendiri saya juga menemukan banyak orang yang melakukan yang tidak terpikirkan oleh kita sendiri.
Lihatlah. Aura anak muda yang masih berkutat dikampus, masih memikirkan ujian semester, di saat usia mereka yang masih hobby hidup didunia gadget kemudian meninggalkan semuanya.
Ada seorang anak muda yang "gila". Dengan papan kecil di kostnya. Dia menerangkan tentang Epistemologi, alam filsafat, nilai-nilai kehidupan. Muridnya mahasiswa yang silih berganti.
Ada juga komunitas yang Menggelar lapak. Menjajakan buku setiap malam minggu.
Bayangkan.