Mohon tunggu...
Ahd Zulfikri Nasution
Ahd Zulfikri Nasution Mohon Tunggu... Konsultan Pendidikan

Manusia Merdeka

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

"Demokrasi Ditinggal, Ekonomi Dipreteli: Kemana Arah Indonesia?"

19 Mei 2025   21:35 Diperbarui: 19 Mei 2025   21:35 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi demokrasi (Sumber: Freepik/Kredit Foto)

Saat ini, Indonesia berdiri di sebuah persimpangan yang pelik. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi masih dibanggakan dalam angka makro yang sering menghiasi layar-layar televisi dan laporan resmi pemerintah. Namun di sisi lain, denyut demokrasi mulai melemah, dan politik cenderung diarahkan oleh kekuatan kapital dan oligarki. Di tengah gempuran investasi dan pembangunan infrastruktur, kita patut bertanya dengan suara keras: Apakah arah ekonomi-politik Indonesia masih berpihak pada rakyat, atau justru bergerak menuju konsolidasi kekuasaan yang kian eksklusif?

  • Pertumbuhan Ekonomi yang Tidak Menetes ke Bawah

Pemerintah kerap membanggakan pertumbuhan ekonomi yang stabil di kisaran 5 persen per tahun. Namun mari kita tengok ke jalan-jalan desa, ke pelosok yang masih dihantui stunting, pengangguran terselubung, dan ketimpangan. Narasi pertumbuhan tidak serta-merta menjawab kenyataan bahwa distribusi kekayaan di Indonesia masih dikuasai oleh segelintir elite.

Laporan Oxfam Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya bahkan menyebut bahwa empat orang terkaya di negeri ini memiliki kekayaan setara dengan 100 juta penduduk termiskin. Ironi ini memperlihatkan bahwa model ekonomi yang dijalankan masih belum inklusif. Investasi besar masuk, tetapi siapa yang menikmati hasilnya?

Konsep trickle down economy yang dulu diyakini akan memberikan efek menetes ke bawah kini mulai dipertanyakan efektivitasnya. Yang terjadi justru "trickle up", di mana sumber daya dari bawah diserap ke atas oleh korporasi besar, termasuk BUMN yang perlahan menjelma seperti kartel raksasa.

  • Kekuasaan yang Terpusat, Politik yang Dihibridisasi

Dalam lima tahun terakhir, kita melihat konsolidasi kekuasaan yang nyaris tanpa oposisi efektif. Reformasi yang dulu diperjuangkan dengan keringat dan darah generasi 1998 kini seperti tereduksi menjadi slogan. Penunjukan anak dan kerabat dalam posisi strategis pemerintahan menjadi sinyal kuat bahwa demokrasi bukan hanya mundur, tapi mulai dirusak dari dalam.

Ekonomi dan politik Indonesia semakin masuk dalam satu poros kekuasaan: politik dikendalikan demi melanggengkan kekuatan ekonomi, dan kekuatan ekonomi digunakan untuk mengontrol politik. Inilah wajah dari ekonomi-politik gaya baru di Indonesia: hibridisasi antara otoritarianisme dan kapitalisme.

Koalisi besar di parlemen yang menghapus oposisi sejati membuat ruang kritik menjadi sempit. Kebijakan-kebijakan strategis seperti UU Cipta Kerja, revisi UU Minerba, hingga ambisi hilirisasi tambang semuanya muncul dengan narasi nasionalisme ekonomi, tetapi pelaksanaannya justru sering kali menguntungkan korporasi dan merugikan rakyat kecil, khususnya buruh dan petani.

  • Hilirisasi atau Eksploitasi Ulang?

Pemerintah gencar mendorong hilirisasi tambang sebagai strategi transformasi ekonomi. Namun, mari kita cermati: siapa pengendali hilirisasi itu? Apakah benar membuka lapangan kerja secara signifikan bagi masyarakat lokal? Atau justru memperkuat dominasi segelintir konglomerat yang mendapat karpet merah dari pemerintah?

Proyek hilirisasi nikel, misalnya, banyak dikendalikan oleh investor asing dan elite lokal yang terhubung dengan kekuasaan. Di lapangan, seringkali masyarakat sekitar tambang mengalami kerusakan lingkungan, relokasi paksa, dan hanya menjadi penonton dari proyek-proyek bernilai triliunan.

Di sinilah letak pertanyaan fundamentalnya: apakah kebijakan ekonomi kita benar-benar berdaulat? Atau justru menjadi instrumen akumulasi modal oleh elite dan negara-negara besar?

  • Ancaman terhadap Akuntabilitas dan Ruang Sipil

Ketika ekonomi semakin dikendalikan oleh aktor yang itu-itu saja, dan politik tidak lagi memiliki mekanisme kontrol yang sehat, maka akuntabilitas akan menjadi korban. Pengawasan terhadap kebijakan publik menjadi lemah. Aktivis dan akademisi yang kritis terhadap arah pembangunan kerap diberi stigma sebagai "anti-pembangunan" atau bahkan "subversif".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun