Kenaikan harga BBM telah sekian bulan berlalu. Di lapangan, ternyata masih menjadi penyebab dari kericuhan kecil. Misal, antara penumpang dan sopir angkutan umum (angkot). Setidaknya demikian yang saya alami sendiri, meski sama-sama warga lokal, di satu kota kecil di kabupaten Lombok Timur (Lotim).
Akhir pekan ini, saya ada pekerjaan menulis ke Gili Trawangan. Destinasi wisata kelas dunia, yang berada di ujung Barat Laut Lombok. Rencana awal yang berangkat satu tim menggunakan mobil, terpaksa berubah, lalu memilih moda angkutan umum. Lintas kabupaten. Timur, Tengah, Barat dan Utara. Genap empat kabupaten se-pulau Lombok.
Drama Supir Angkot Hijau Lotim
Sejak awal kenaikan BBM, saya pribadi memilih langsung membayar sesuai anjuran kenaikan. Di kota Selong, tarif angkot dengan bemo bercat hijau, jauh dekat di 7500 rupiah. Jadi terasa berat, karena kompleks pertokoan dimana saya kadang belanja bulanan atau terpaksa ke bank, hanya berjarak kurang dari 5 km. Bisa berjalan kaki di pagi atau sore hari, namun jelas bukan pilihan saat matahari sudah mulai meninggi.
Kemarin siang, pengalaman menyenangkan bisa memberikan ongkos baru tanpa drama, membuat saya alfa. Bemo hijau yang saya stop dan saya minta antarkan ke Masbagik, tidak saya tanyai kepastian ongkos. Hemat saya, kota kabupaten Selong menuju Masbagik yang berjarak sekitar 15 menit berkendara, tentu masih masuk dalam ketentuan jauh dekat.
Kesalahan kecil namun fatal. Lima menit perjalanan, saya meminta tolong berhenti sebentar di apotik pinggir jalan. Penumpang angkot hanya saya dan putra saya. Takkan sampai 10 menit. Namun, sopir bemo menolak dengan rentetan kalimat keluhan.
"Aduh bu, nanti saya ndak dapat penumpang. Di Masbagik nanti kan juga banyak apotik. Kalo kelamaan sedikit, nanti saya ndak dapat penumpang dong bu.."
Baik. Saya mahfum. Lanjut. Bemo berbelok sebentar melewati pasar tradisional kabupaten. Tetap taka da penumpang, Sering saya alami. Terakhir Selong Mataram pp, sangat jarang bemo kota yang saya tumpangi penuh penumpang.
Sampai di Masbagik. Biasanya, saya meminta berhenti di jalur yang jauh dari engkel (sebutan untuk angkot antar kabupaten di Lombok) yang ngetem. Sudah siang, masih ada tiga kabupaten berikutnya yang segera harus saya lewati. Nyatanya, sopir justru mengekor ke satu engkel yang sedang ngetem. Insting saya mulai merasai gelagat tak nyaman.
Uang 14 ribu saya angsurkan, dan sopir bemo mulai mengeluh dengan nada tinggi.