Mohon tunggu...
Om Lihin
Om Lihin Mohon Tunggu... Administrasi - Guru yang suka menulis

Sementara hanya bisa merangkai huruf, dan masih takut mati.... Malas menulis di kompasiana, sukanya baca baca saja. Tanya kenapa???

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Malaysia Tidak "mencuri", Cuma Beda Persepsi

19 Juni 2012   13:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:47 1122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1340110924834527774

Sebagai negara besar, dengan kekayaan budaya sangat luar biasa maka budaya negara kita akan selalu mempunyai potensi untuk diklaim. Terbukti, tercatat enam kali sudah negara tetangga kita itu “mencaplok” budaya asli dari Indonesia. November 2007, mengklaim Reog Ponorogo dari Jawa Timur. Desember 2008, mengklaim lagu “Rasa Sayange”. Januari 2009, mengklaim batik. Agustus 2009, mengklaim Tari Pendet dari Bali. Bahkan tarian itu sempat dimasukan sebagai iklan pariwisata Malaysia. Maret 2010, mengklaim musik angklung. Dan terakhir, 15 Juni 2012, Malaysia mengklaim Tari Tor Tor dan musik Gondang Sembilan. Bahkan dari catatan kementerian, Malaysia juga pernah satu kali mengklaim hasil bumi Indonesia, yaitu beras Adan Krayan dari Kecamatan Krayan, Nunukan, Kalimantan Timur. Beras itu dipasarkan oleh Malaysia dengan merk “Bario Rice” dari Serawak Malaysia.

[caption id="attachment_183562" align="aligncenter" width="550" caption="Image from theworldmiracle.wordpress.com"][/caption] Di dunia maya, berita ini ramai dibicarakan. Kata-kata caplok; nyolong, mencuri de el el, bukan lagi kata asing yang disematkan kepada negara serumpun kita. Tulisan ini mengajak pembaca mencerna soal “caplok-mencaplok” budaya dari sisi pendalaman persepsi. Definisi paling sederhana dari sebuah budaya adalah hasil karya, rasa dan cipta dari suatu masyarakat. Dengan definisi ini maka kebudayaan tidak hanya berlaku bagi suatu hasil karya yang berbau seni. Kebudayaan lahir dari sekelompok masyarakat yang tinggal disuatu daerah. Sekelompok orang itu nantinya akan membentuk sebuah adat istiadat sendiri. Adat istiadat itu akan melahirkan berbagai macam produk, seperti tarian, makanan, benda-benda khas, upacara dan bahkan sistem sosial. Jumlah produk budaya yang dirilis kementerian terkait, hanya sekitar 2.108, jauh dari jumlah yang sebenarnya, yaitu sekitar7.000. ada yang resmi, dan ada yang belum resmi. Dari sini, sudah kelihatan jelas, bahwa ada kesalahan berpikir kita memaknai kepemilikan suatu budaya. Beberapa waktu lalu, Batik sebagai salah satu kebudayaan khas Indonesia diakui UNESCO sebagai kebudayaan Indonesia. Resminya batik diakui sebagai budaya bukan benda warisan manusia (intengible cultural heritage of humanity). (sumber). Namun, Batik yang dimaksudkan adalah batik tulis bukan batik cap. Sedangkan batik yang disuarakan di”curi’ oleh Malaysia, adalah batik batik cap. Saya punya banyak keluarga dekat yang kebetulan sudah menjadi warga negara Malaysia. Mereka mengatakan, batik yang dimaksud lebih cenderung ke batik cap bukan batik tulis. Jadi antara batik Malaysia dan batik Indonesia yang diakui UNESCO sebagai budaya asli Indonesia itu sepertinya adalah dua bentuk yang berbeda. Fakta lain, ketika yang men-sahkan sebagai budaya resmi suatu negara, adalah UNESCO. Siapa UNESCO?, anggotanya budayawan atau ahli budaya?, tahun berapa tim klarifikasinya (kalau ada) lahir?. Sederhana, kalau kita bisa marah karena Malaysia dianggap men”curi” budaya kita, maka kita harus siap “marah”, jika suatu saat UNESCO menetapkan kepemilikan budaya tidak sesuai harapan kita. Berani? Kembali ke masalah pe-maknaan “caplok” berdasarkan definisi budaya sebelumnya. Jika sekelompok masyarakat di suatu daerah cenderung mampu membentuk budaya tertentu, maka, jangan tanya kenapa banyak budaya dari Indonesia di Malaysia?. Berapa ribu warga kelahiran Indonesia yang menjadi TKI, bahkan ikhlas menjadi warga negara Malaysia. Mereka tinggal di sana kebanyakan berkelompok berdasarkan ikatan kampung halaman dan kekerabatan. Tak heran, jika makanan rendang, sate, pisang goreng, nasi goreng, ketupat, nasi tumpeng, air kelapa, serundeng, otak-otak, barongko, onde-onde, dan lain sebagainya, ditemukan di sana. Gamelan, wayang kulit, gasing dan pantun, juga ada di sana. Bahkan, khitan yang merupakan tradisi Islam bagi anak laki-laki juga ada dan terdafar di Malaysia. Mereka yang tinggal di sana, membentuk komunitas, memakai tradisi dari kampung halamannya, berpuluh tahun, beranak cucu, menjadi adat istiadat, kemudian memunculkan budaya baru yang sedikit mirip dari produk asal. Itulah yang dinamakan warisan budaya. Komunitas China Indonesia memprekatekan budayanya, misal Barongsay, berapa istilah cina dari bakwan, bakso, bakpao, dst kita ambil. Begitu pula sebaliknya, berapa “caplokan” orang cina sampai lirik lagu Indonesia pusaka diambil. Kita tidak marah.. Namun pemerintah Indonesia tidak mengklaim sebagai miliknya. Lihat video di sini Akhirnya saya memberikan simpulan, ada perbedaan perspektif antara Indonesia dan Malaysia dalam memandang arti dan asal sebuah budaya. Malaysia lebih cenderung menganggap segala tradisi yang tumbuh turun temurun di negara itu, tanpa melihat asal tadisi itu, merupakan warisan (sekali lagi memakai kata warisan) kebudayaan Malaysia. Sedangkan kita, lebih melihat dari asal produk budaya yang ada. Jadi, semestinya sebelum marah, kita samakan dulu perspektif dalam memandang budaya antara Indonesia dan Malaysia. Penulis lebih sepakat, jika kepemilikan budaya dilihat dari asal muasal budaya itu lahir, bukan warisan seperti klaim tetangga kita. From My Web...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun