Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Guru - M Musa Hasyim

Guru PPKn yang suka baca novel kritik sosial dan buku pengembangan diri. Sering menyukai sesuatu secara random.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sound of Borobudur, Golden Age-nya Musik Nusantara

16 Mei 2021   21:39 Diperbarui: 16 Mei 2021   21:41 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemegahan Candi Borobudur. Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id

Golden age musik Nusantara terekam jelas melalui 226 relief alat musik jenis Aerophone (tiup), Cordophone (petik), Idiophone (pukul) dan Membranophone (ber- membran), serta 45 relief ensambel di dinding candi.

Saya berani menyebut term golden age karena beberapa jenis alat musik yang dipakai di masa ini memiliki kemiripan dengan alat musik yang terpahat di relief Borobudur beberapa puluh abad silam. 

Dinasti Abbasiyah sebagai gudangnya ilmu pengetahuan, tidak sampai menggelar pertunjukkan musik selengkap atau seharmoni masa Wangsa Syailendra melalui Sound of Borobudur-nya. Mereka hanya memainkan musik padang pasir dengan alat musik yang masih sederhana, belum ada orkestra selengkap Sound of Borobudur.

Pun bangsa Eropa baru memulai orkestra pada abad ke 14. Sementara bangsa kita selangkah lebih maju karena sudah memulainya 700 tahun sebelum Eropa melakukannya. Artinya, bangsa kita sudah lebih dulu maju di bidang kesenian dibandingkan bangsa-bangsa lain di seluruh dunia.

Dari sini, saya menyimpulkan, Sound of Borobudur memiliki arti Borobudur pusat musik dunia. Kehadiran SoB menginspirasi bangsa-bangsa lain di seluruh dunia pada waktu itu sehingga ada banyak kemiripan alat musik modern dengan alat musik di relief Borobudur atau bisa jadi juga, alat-alat musik modern saat ini berasal dari Nusantara. Jika kemungkinan kedua sudah terbukti, maka entah saya harus berkata apa lagi.

Baca juga: Sound of Borobudur: Bahasa Universal Sebelum Eranya Google Translate dan Cara Kita Melestarikannya 

Pahat demi pahat dari pertunjukkan musik mencerminkan kehebatan bangsa kita. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana nenek moyang kita bisa melakukan itu semua, memahat dengan detail pas saja sudah sangat sulit apalagi membangun candi setinggi 35 meter. Begitulah nenek moyang kita mengantarkan Borobudur sebagai bagian dari Wonderful Indonesia yang perlu dilestarikan.

Maka tidak heran, ada yang mengaitkan pembangunan candi dengan hal mistis seperti keterlibatan bangsa jin lokal misalnya. Namun saya tak habis pikir, dari sekian banyak hal mistis kenapa ada yang mengatakan Borobudur sebagai peninggalan Nabi Sulaiman bersama pasukan jinnya? Sebuah cocokologi terdahsyat di negeri tercinta.

Apalagi tayangan tersebut disiarkan di stasiun televisi milik pemerintah. Pun bukunya sampai laris manis di pasaran meski tidak ada satu pun bukti empiris Sejarah mengarah kepadanya. Saya tidak perlu menyebutkan siapa sosok yang memopulerkan isu tersebut, cukup tahu saja.

Mengaungkan Kembali Golden Age Tanpa Overproud

Kita boleh saja bangga memiliki kemegahan Candi Borobudur dengan relief alat musiknya tapi bukan berarti kita sampai memelihara overproud parah. Kita perlu belajar dari keruntuhan golden age-nya Dinasti Abbasiyah dan bangsa-bangsa lainnya.

Cocokologi Borobudur dengan istana Nabi Sulaiman merupakan satu dari sekian banyak bentuk overproud. Saking bangganya, kelompok tersebut membuat hoaks yang seolah-olah ilmiah karena membawa-bawa bendera agama. Mereka melupakan jasa arkelog, sejarawan, peneliti, dan para akademisi lain yang susah payah mengumpulkan bukti konkret.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun