Ada beberapa alasan sehingga mereka mau membeli majalah itu meskipun sebagian sudah tahu bahwa hal itu justru akan menimbulkan gejolak lain di kemudian hari.
Pertama, sebagai ungkapan kekesalan kepada pengungsi yang mengambil lapak orang pribumi.
Alasan ini sama saja dengan tindakan protes mereka kepada pengungsi yang dianggap akan membahayakan masa depan Eropa. Mereka merasa insecure dengan pengungsi yang kebanyakan berasal dari Timur Tengah dan membawa-bawa tameng agama.
Islamophobia yang masih membekas di Eropa malah akan meningkat dengan kartun kontroversial tersebut. Di tambah mereka membelinya ramai-ramai sampai majalah Charlie Hebdo habis terjual dalam sehari.
Kedua, rasa penasaran dengan agenda terorisme yang terjadi di Perancis beberapa tahun belakang.
Alasan ini muncul di era menjamurnya teknologi informasi. Semakin banyak isu berkembang di masyarakat, mereka akan semakin penasaran.
Ini bukan soal benar atau salah tapi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang menunggangi isu di baliknya.
Menurut riset dari The British Journal of Politics and International Relations oleh Ilgit dan Klotz, partai politik di Eropa ikut memainkan isu pengungsi- ada partai yang mendukung pengungsi sebagai bagian hak asasi manusia dan ada pula yang mengakuinya sebagai ancaman.
Di Jerman misalnya, partai Alternative fr Deutschland semakin diminati karena agenda utamanya yang menolak pengungsi sehingga pada 2017 didaulat sebagai partai terbesar ketiga dalam pemilu padahal tergolong partai yang baru berdiri.
Ketiga, minimnya dialog terbuka antar umat beragama. Kalau agenda semacam ini rutin dilakukan tanpa ada prasangka atau stigma, maka tak ada satupun masyarakat Eropa yang membeli majalah pemicu kerusuhan tersebut.
Masyarakat Eropa mungkin banyak yang belum tahu bahwa menggambar atau memvisualisasi Nabi Muhammad adalah perbuatan yang tidak diperbolehkan karena akan menyakiti perasaan umat Muslim.