Mohon tunggu...
Murwat
Murwat Mohon Tunggu... wiraswasta -

Trimo Ing Pandum

Selanjutnya

Tutup

Humor

(Guyon) Gita Cinta dari SD Inpres

4 Februari 2012   17:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:03 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Ini Budi
Ini Wati
Ini Iwan
Budi adik Wati
Iwan adik Budi
.................................................

Ternyata sudah lama sekali waktu lewat.  Di bangku SD tidak saja saya mulai mengerti baca dan tulis, akan tetapi juga mulai bisa merasakan bahwa gadis yang duduk di depan saya itu manis. Namanya ST, pipinya lesung pipit dan senyumnya yang setengah ditahan membuat saya terpesona.  Tentu saja rasa yang tertahan karena seperti umumnya anak dijaman saya ketika terpesona dengan seseorang malah menghindar jauh. Malu. Hanya berani curi-curi pandang.

Tamat SD, saya sekolah di kota K, si manis ST ke kota L. Hanya sesekali kami ketemu. Senyumnya masih manis, sayapun kontinyu dengan sikap saya yang malu-malu.  Sampai sekarang saya tidak juga mengerti kenapa ada rasa malu untuk hal semacam itu.  Santai aje nape? Sante ae rek? Santai bae lah Kang? Gitu mungkin komentar orang lain jika tahu apa yang tersembunyi di hati ini.

Tamat SMP, saya ke kota W, si manis ST masih di kota L, untuk meneruskan ke SMA. Hubungan kami terputus, maaf, maksudnya belum nyambung. Bagaimana dibilang putus kalau tersambung saja belum! Apalagi berikutnya saya mendengar dia sudah menikah dengan seorang pengusaha.

Sampai kemudian terjadi pertemuan yang tidak terduga. Kala itu saya pulang sekolah berboncengan dengan teman.  Teman saya berniat mengantar saya sampai ke rumah.  Tiba-tiba ban kempes kena paku. Kamipun mampir ke sebuah bengkel tambal ban dekat rumah ST.  Dari kejauhan saya lihat ST lagi duduk sendirian di teras.  Dengan percaya diri saya temui dia.  Kaget sekali dia melihat saya tiba-tiba ada di hadapannya.  Senyumnya masih manis seperti dulu.  Kamipun mengobrol.

"Coba dulu aku ikut kamu, aku tidak akan seperti ini".


Kata-kata itu membuat saya terdiam. Ada apa gerangan. Saya dengar sebelumnya kehidupan dia nyaman-nyaman saja.  Satu sisi saya bersedih mendengar keluhan itu, satu sisi saya bangga mendengarnya. Bangga karena ternyata "saya ada di hatinya"...ah tapi apa gunanya, semuanya sudah berbeda.  Yang tersisa kemudian adalah rasa bangga itu sendiri.  Bangga karena menjadi bagian dari "andai-andai" yang dia ungkapkan. Pengandaian yang menyiratkan ramalan masa depan.

Seperti biasa matahari selalu terbit dan terbenam berulang-ulang, yang setiap geraknya membuat angka di kalender gantung bergeser angka-angkanya.  Saya menjadi tua, tentu saja si manis juga pasti menjadi tua juga.  Saya tidak tahu lagi senyumnya semanis apa sekarang.  Mudah-mudahan lesung pipitnya tidak menjadi terlalu dalam.

Ada keinginan untuk sekali waktu sengaja bersilaturahmi ke rumahnya. Toh saya dengar kehidupan rumah tangganya baik-baik saja.  Sebuah situasi yang enak untuk berkunjung.  Tapi ada satu hal yang tiba-tiba menyergap pikiran saya.  Apa ya yang kira-kira akan dikatakannya ketika nanti berjumpa.  Satu kalimat yang saya khawatirkan akan terucap olehnya:

"Untunglah aku dulu tidak ikut kamu!"


Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun