Mohon tunggu...
Murni Marlina Simarmata
Murni Marlina Simarmata Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Aro Gapopin

Menulis untuk mengasah disiplin berpikir

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Ironi Kopi Nusantara: Berjaya di Negeri Orang, Tertatih di Negeri Sendiri

25 Oktober 2019   04:06 Diperbarui: 25 Oktober 2019   20:04 1807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: waktunyakapalapi.com

Sebagai anak petani, saya telah akrab dengan kopi sejak kecil. Dalam memori masa kecil tersebut, kopi tak memiliki keistimewaan dibanding tanaman lain.

Harganya kadang tinggi, kadang rendah bahkan tak jarang berada di titik sangat rendah dan tak sebanding dengan ongkos tanam, perawatan dan panen.

Budidaya kopi, seperti budidaya tanaman lain, tak ubahnya permainan judi bagi petani. Harga tinggi dan harga rendah sepenuhnya tergantung pada nasib karena petani tak memiliki kuasa mengendalikan harga. 

Kondisi ini membuat kopi tak istimewa sama sekali di mata petani. Bahkan ketika beredar informasi bahwa kopi merupakan bahan pembuatan bubuk mesiu, banyak orang percaya begitu saja.

Tak jelas dari mana informasi tersebut berasal, tapi sering dibicarakan di kedai-kedai kopi oleh orang dewasa untuk menjelaskan kenapa harga kopi bisa tiba-tiba melambung dan bisa tiba-tiba melempem. 

Katanya, harga kopi tergantung situasi keamanan dunia. Jika di negara tertentu terjadi perang, harga kopi bisa melambung karena permintaan terhadap serbuk mesiu naik.

Kalau anda berkunjung ke desa-desa penghasil kopi di Sumatra Utara, akan mudah menemukan orang-orang tua yang masih mempercayai mitos tak berdasar tersebut sampai sekarang.

Beranjak dewasa dan mulai akrab dengan berbagai literatur, saya pelan-pelan menyadari keistimewaan kopi. Sejumlah novel karya pengarang luar negeri menggambarkan peran penting kopi bagi masyarakat di negara-negara maju. 

Kafe-kafe penyedia kopi yang legendaris di negara-negara maju juga sering digambarkan dalam berbagai film.

Majalah dan surat kabar juga sering mengulas tradisi minum kopi yang telah mengakar kuat di Belanda, Jerman, Perancis, Amerika dan sejumlah negara maju lain sejak berabad silam. Ironisnya, negara-negara ini tak memiliki tanaman kopi sebatangpun. 

Mereka mendatangkan biji kopi dari berbagai negara tropis, kemudian mengolahnya. Hasil olahan mereka turut dinikmati penduduk kelas menengah-atas sebagai bagian dari gaya hidup di negara-negara yang merupakan sumber dari kopi-kopi tersebut, seperti Indonesia.

Kendati kini Indonesia hanya berada di posisi keempat sebagai negara produsen kopi terbesar di dunia, mayoritas kopi yang merajai pasar-pasar Eropa, Amerika, Asia dan belahan dunia lain memiliki tali-temali dengan kopi Nusantara yang cukup lama "diabaikan" di negeri asalnya sendiri. 

Untuk memahami ironi besar ini, kita perlu sejenak mengulik sejarah.

Berjaya di Negeri Lain

Dalam buku "The Road to Java Coffee" karya Parwoto Indarto (2013) disebutkan bahwa dunia telah mengakui keunggulan kopi Nusantara sejak tiga abad lampau. 

Pemerintah kolonial Belanda pernah meneliti biji Kopi dari Cianjur dan menyimpulkan kopi tersebut memiliki kualitas terbaik dari semua jenis kopi yang ada di negara-negara jajahan mereka. 

Setelah itu, tentara kolonial Belanda membawa bibit kopi dari Cianjur ke negara-negara jajahan mereka hingga tersebar sampai ke Amerika Selatan.

Dari negeri-negeri jajahan tersebut bibit kopi Nusantara kemudian tersebar ke Brasil, Kolombia dan juga ke Vietnam. Tiga abad kemudian, ketiga negara tersebut menduduki urutan pertama, kedua dan ketiga sebagai produsen kopi terbesar di dunia. 

Indonesia yang merupakan negara asalnya harus puas berada di urutan keempat sebagaimana dirilis worldatlas.com dalam artikel berujudul "Top Coffee Producing Countries".

Luas kebun kopi Brasil tidak sampai setengah luas kopi Indonesia yang tercatat sebagai negara dengan perkebunan kopi terluas di dunia, tapi produksi kopi Brasil dapat menggungguli produksi kopi Indonesia. 

Demikian juga dengan Kolombia dan Vietnam, mampu melampaui produksi kopi Indonesia dengan luas kebun lebih kecil.

Romantika pertanian kopi dalam novel, feature surat kabar atau film dokumenter terbaru mayoritas  berlatar Brasil, Kolombia atau Vietnam karena ketiga negara tersebut telah merasakan keampuhan kopi membawa kesejahteraan bagi para petani. 

Semua itu tercapai karena penerapan teknologi dan ilmu pengetahuan terbaru sejak pembibitan hingga penanganan paska panen.

Sementara di Indonesia, negeri asal kopi yang dibudidayakan di tiga negara tersebut, kisah petani kopi masih didominasi kisah pilu. 

Selain karena masih menggandalkan pola-pola pertanian tradisional, rantai panjang perdagangan kopi membuat banyak petani sulit mencapai taraf sejahtera karena harga sepenuhnya dikendalikan oleh para tengkulak sebagaimana terungkap dalam liputan Kompas bertajuk "Jelajah Kopi Nusantara".

Arus Balik

Ironi berikut, kita harus belajar ke negeri nan jauh untuk menyadari nilai dari produk kita sendiri. Orang-orang Indonesia yang belajar atau bekerja di negara-negara maju, membawa tradisi minum kopi dan ilmu cara mengolah kopi modern ketika kembali ke Indonesia. 

Mereka mendirikan kafe-kafe penyedia kopi yang meniru konsep kafe-kafe di negara-negara maju. Maka kita sekarang menyaksikan berbagai gerai kopi alternatif yang dikelola secara modern tumbuh subur di tanah air.

Bagaimanapun, fenomena arus balik ini semestinya disambut positif. Selain karena menyebarkan cara minum kopi sehat, tak sedikit dari para pengelola kafe tersebut berusaha memotong rantai panjang perdagangan kopi yang menjadi persoalan laten dalam agrobisnis kopi nasional. 

Mereka membina para petani kopi di desa cara pengelolaan kopi yang benar dan menampung produk para petani binaan dengan harga lebih baik.

Kendati dampak pertumbuhan ekonomi berkat kemunculan kafe-kafe baru tersebut belum terasa signifikan, semangat perlawanan terhadap monopoli perdagangan kopi mulai bergaung. 

Gerai-gerai kopi dalam skala lebih kecil dan harga lebih terjangkau telah turut tumbuh seperti penyedia Kopi Keliling (Koling), Kopi Trotoar (Kopitro) dan berbagai usaha kreatif lain yang tak membutuhkan modal besar sehingga bisa menyajikan seduhan kopi berkualitas dengan harga lebih terjangkau.

Akumulasi dari semua gerai baru tersebut akan menjadi kekuatan besar dalam menghadapi dominasi gerai-gerai waralaba dengan merek terkenal yang sesungguhnya berasal dari negara-negara non-produsen kopi. 

Keuntungan terbesar bisnis kopi telah lama dinikmati gerai-gerai terkenal ini dan negeri produsen hanya menikmati bagian terkecil. Kini saatnya merebut keuntungan itu dan menjadikan kopi Nusantara berjaya di rumahnya sendiri.

Jika gerai-gerai kopi alternatif seperti digambarkan di atas terus tumbuh, pelan tapi pasti tak ada lagi petani kopi di Indonesia yang percaya bahwa kopi adalah bahan pembuatan mesiu atau informasi sesat lainnya. 

Informasi sesat seperti ini membuat petani memperlakukan hasil panen mereka secara serampangan sehingga kualitasnya rendah. 

Para tengkulak membeli kopi berkualitas rendah tersebut dengan harga murah, mengolahnya kembali dengan metode lebih baik, kemudian menjualnya dengan harga jauh lebih tinggi.

Dengan adanya jaminan bagi petani bahwa kualitas akan sebanding dengan harga, mereka akan lebih termotivasi belajar bercocok-tanam kopi secara modern dan mengelola hasil panen dengan lebih baik. 

Semangat inilah yang disebarkan oleh anak-anak muda pemilik kafe baru tersebut dengan membina petani di desa dan membeli produk mereka secara langsung. 

Maka kita cukup optimis dapat mengejar ketertinggalan dari Brasil, Kolombia dan Vietnam yang telah berjaya berkat kopi dari Nusantara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun