Dalam dunia yang semakin maju secara teknologi dan ilmiah, praktik keperawatan tetap berakar pada sesuatu yang jauh lebih mendasar, relasi manusiawi dan tanggung jawab moral. Di balik setiap prosedur medis yang dilakukan perawat, tersimpan pertanyaan-pertanyaan filosofis. Apakah tindakan ini benar secara moral? Apakah ini demi kebaikan pasien atau hanya menjalankan perintah? Keperawatan bukan semata profesi teknis, melainkan juga panggilan etis yang menuntut refleksi mendalam antara batas medis dan pertimbangan moral (Santos, 2002).
Antara Instruksi dan Hati Nurani
Seorang perawat berada dalam posisi yang unik ia adalah pelaksana instruksi medis, namun juga penjaga martabat pasien. Dalam praktiknya, tak jarang muncul dilema yang menempatkan perawat dalam posisi sulit. Misalnya, ketika merawat pasien terminal yang secara kondisi pasien tidak memiliki harapan sembuh, perawat sering kali terjebak antara memperpanjang tindakan keperawatan atas permintaan keluarga, atau menghentikan perawatan demi menghindari penderitaan yang tak perlu. Di sini, perawat harus menyeimbangkan prinsip beneficence (berbuat baik) dan non-maleficence (tidak menyakiti) (Beauchamp & Childress, 2019).
Dilema seperti ini tidak bisa dijawab hanya dengan panduan teknis. Ia menuntut kesadaran etis, seperti yang diajarkan oleh Immanuel Kant, bahwa tindakan manusia harus berdasarkan pada prinsip moral yang berlaku universal --- termasuk prinsip menghargai manusia sebagai tujuan, bukan sebagai alat (Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, 1785).
Otonomi Pasien dan Tantangan Empati
Prinsip otonomi pasien adalah salah satu pilar dalam etika keperawatan modern. Namun, dalam praktik keperawatan, perawat sering menghadapi pasien yang menolak pengobatan atau mengambil keputusan yang dianggap merugikan dirinya sendiri. Perawat pun terjebak antara menghormati keputusan pasien atau berusaha "menyelamatkan" pasien atas dasar profesionalisme (ANA Code of Ethics for Nurses, 2015).
Filsafat membantu kita memahami bahwa otonomi bukan berarti membiarkan pasien membuat keputusan secara sembarangan, melainkan mendampingi mereka agar mampu membuat pilihan yang reflektif. Di sinilah etika kebajikan dari Aristoteles menjadi relevan: perawat dituntut memiliki phronesis --- kebijaksanaan praktis --- dalam merawat bukan hanya tubuh, tetapi juga jiwa dan relasi sosial pasien (Aristotle, Nicomachean Ethics).
Moral Distress dan Keberanian Etis
Salah satu realitas pahit dalam dunia keperawatan adalah munculnya moral distress: situasi ketika perawat tahu apa yang benar, namun tidak bisa melakukannya karena tekanan sistem, aturan rumah sakit, atau hierarki profesional (Jameton, 1984). Misalnya, perawat yang ingin memberikan waktu dan perhatian lebih pada pasien, tapi dibatasi oleh beban kerja dan target administratif.
Filsuf eksistensialis seperti Sren Kierkegaard dan Emmanuel Levinas memberi pemahaman bahwa panggilan moral seseorang tidak bisa dikalahkan oleh sistem. Wajah pasien, bagi Levinas, adalah seruan etis yang tak bisa diabaikan, yang menuntut tanggapan manusiawi, bukan prosedural (Levinas, Totality and Infinity, 1961).