Mohon tunggu...
Moh. Toriqul Chaer
Moh. Toriqul Chaer Mohon Tunggu... lainnya -

Orang yang berhasil akan mengambil manfaat dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan, dan akan mencoba kembali untuk melakukan dalam suatu cara yang berbeda. (Dale Carnegie)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Penerapan Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Keilmuan

13 Oktober 2011   09:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:00 9634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[2] Jujun Suriasumantri, op.cit, 7-8

[3] Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), 142-143

[4] Contoh: Penjelasan probabilistik ditarik secara induktif dari sejumlah kasus yang dengan demikian tidak memberikan kepastian seperti penjelasan deduktif, melainkan penjelasan yang bersifat peluang, seperti ”kemungkinan”, ”kemungkinan besar”, atau ”hampir dapat dipastikan”. Penjelasan fungsional atau teleologis meletakkan sebuah unsure dalam kaitannya dengan sistem secara keseluruhan yang mempunyai karakteristik atau arah perkembangan tertentu (Suriasumantri, 2000: 142). Dewasa ini telah ditemukan model-model penjelasan ilmiah yang membedakannya dengan penjelasan non-ilmiah, yakni Deductive-Nomological (DN), Statistical Relevance (SR), Causal Mechanical (CM), dan Unificationist models ("Scientific explanation", 2009). Dalam model DN, sebagai contoh, ilmu bertanggung jawab untuk

menyediakan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan "mengapa". Suatu jawaban atas pertanyaan "mengapa" baru dapat disebut penjelasan ilmiah apabila ia memiliki struktur yang logis dalam argumennya, yaitu terdiri atas premispremis dan kesimpulan yang memiliki relasi satu sama lain. Kesimpulan yang ada di dalamnya merupakan fenomena yang perlu dijelaskan (explanandum), sedangkan premis-premisnya adalah fakta yang bisa digunakan untuk mendukung kesimpulan tersebut (explanans). Untuk dapat memberikan penjelasan, ilmu memiliki argumen deduktif dengan minimal satu hukum umum sebagai premis dan satu explanandum sebagai konklusi. Explanans memberikan penjelasan ilmiah terhadap explanandum hanya apabila: (1) Explanandum merupakan konsekuensi logis dari konjungsi explanans; (2) Tidak ada surplus explanans yang tidak perlu dalam rangka eksplanasi; (3) Pernyataan-pernyataan explanans harus memiliki isi empiris; (4) Semua pernyataan explanans harus benar (Ruben, 1990). Ada karakteristik lain dari model DN, yaitu bahwa sebuah eksplanasi dapat digunakan untuk memperkirakan, dan sebuah prediksi adalah sebuah eksplanasi yang sahkarena kepersisan struktur logisnya. Model ini sangat jelas membedakan antara ilmu dan bukan-ilmu.

[5] Episteme berrati pengetahuan, sedangkan epistemology ialah ilmu yang membahas tentang apa itu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Pengetahuan pada hakekatnya adalah keadaan mental (mental state). Mengetahui sesuatu ialah menyusun pendapat tentang sesuatu itu, dengan kata lain menyusun gambaran itu sesuai dengan fakta atau kenyataan atau tidak? Apakah gambaran itu benar? Atau apakah gambaran itu dekat dengan kebenaran atau jauh dari kebenaran. Ada dua teori mengenai hakekat pengetahuan ini, yaitu teori realisme, yang berpandangan bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat jika sesuai dengan kenyataan tau realitas. Sebaliknya teori yang kedua adalah idealisme, yang berpendapat bahwa gambaran yang benar-benar tepat dan sesuai dengan kenyataan adalah mustahil, oleh karenanya teori ini berpendapatbahwa gambaran subyektif dan bukan obyektif tentang kenyataan. Subyektif dipandang dari sudut yang mengetahui, yaitu dari sudut orang yang membuat gambaran tersebut. Pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya, pengetahuan tidak memberikan gambaran yang tepat hakekat yang ada diluar akal, yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui.

[6] Louis Leahy, Horizon Manusia: Dari Pengetahuan ke Kebijaksanaan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002), 17

[7] A. Alsa, Pendekatan Kuantitatif serta kombinasinya dalam Penelitian Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1990), 3

[8] K. Leksono, Berakhirnya Manusia dalam Kebangkrutan Ilmu-ilmu (Yogyakarta: Basis No. 01-02, Th. 51), 31

[10] Metode ilmiah merupakan rentetan daur-daur penyimpulanrampatan (induksi), penyimpul-khasan (deduksi) dan penyahihan (verifikasi/validasi) yang terus menerus tak kunjung usai (Wilardjo dalam Suriasumantri, 1997: 237). Dalam daur ini, terdapat demarkasi yang disebut Karl Popper sebagai falsifiabilitas. Yang harus melewati patok demarkasi pengujian empiris ini adalah hipotesis. Hipotesis merupakan pernyataan dugaan (conjectural) tentang hubungan antara dua variabel atau lebih, yang dapat dirunut atau dijabarkan dari teori dan dari hipotesis lain (Kerlinger, 2003: 32). Apabila hipotesis kerja (yang hendak diuji) bertahan menghadapi semua usaha menolaknya sebagai keliru (false), teori baru (Popper: ”system of hypotheses”; Shaw & Costanzo: ”a set of interrelated hypothesis”) boleh dianggap sudah diperoleh. Jadi, fungsi hipotesis adalah mengarahkan prosedur penelitian ilmiah, dan membawa ilmuwan ”keluar” dari dirinya sendiri (Kerlinger, 2003: 33). Dua atau lebih variabel yang dijalinkan oleh hipotesis merupakan konstruk-konstruk atau konsep-konsep yang memiliki variasi nilai dan terhubung dengan realitas via pengukuran. ”Konsep” mengungkapkan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal khusus (Kerlinger, 2003: 48), sedangkan ”konstruk” merupakan konsep-konsep yang didefinisikan oleh sebuah jejaring nomologis, yang mengaitkan konstruk-konstruk dan variabel-variabel yang teramati melalui seperangkat relasi-relasi teoritis-sah (Cronbach & Meehl, 1955). Menurut Bunge (1983), konstruk adalah sebuah objek ideal, yang eksistensinya bergantung (predicated) pada mind seseorang; dalam hal ini dikontraskan dengan objek-objek riil, yang eksistensinya tidak bergantung pada mind. Dalam definisi yang lain, konstruk merupakan sebuah properti mental ("Assessing statistically", 2004). Fungsi konsep adalah sebagai alat identifikasi fenomena yang diobservasinya (Effendi dalam Singarimbun & Effendi, 2006: 95); misalnya, ”konsep prestasi akademis” mengungkapkan sejumlah observasi tentang halhal yang lebih atau kurang ”prestatif”. Sedangkan konstruk berfungsi membantu kita mengerti esensi fenomena yang sedang diteliti (Christensen, Johnson, & Horn, 2008: 288); misalnya, ”konstruk prestasi” menolong kita mengenalikenyataan bahwa prestasi akademis merupakan fungsi dari inteligensi dan motivasi.

[11] Wilardjo dalam Jujun Suriasumantri, op.cit, 237

[12] D. Marzuki, Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu (Jakarta: Grasindo, 2000),5

[13] Jujun Suriasumantri, op.cit, 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun