Mohon tunggu...
Moh. Toriqul Chaer
Moh. Toriqul Chaer Mohon Tunggu... lainnya -

Orang yang berhasil akan mengambil manfaat dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan, dan akan mencoba kembali untuk melakukan dalam suatu cara yang berbeda. (Dale Carnegie)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Masihkan (Tidak) Perlu Pendidik Berjiwa Besar?

11 Januari 2012   05:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:03 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

MASIHKAH (TIDAK) PERLU PENDIDIK BERJIWA BESAR?

Oleh : Moh. Toriqul Chaer

Jika kita mau jujur memberikan pendapat tentang bagaimana dunia pendidikan di Indonedia saat ini, maka selain pendapat yang menghadirkan  potret keadaan dan kondisi pendidikan yang penuh dengan keberhasilan, tentunya pendapat yang memotret the other side seputar centang perenang -atau bahkan- sesuatu yang  mengenaskan sekalipun dari kondisi dunia pendidikan di Indonesia wajib dan patut kita hadirkan. Upaya untuk menghadirkan sisi buram dunia pendidikan bukanlah semata-mata untuk menggugat dan menghakimi para pelaku dunia pendidikan di Indonesia tetapi yang lebih penting adalah bagaimana upaya yang kita hadirkan adalah sebuah analisa dan pemetaan (need assesment) terhadap apa yang sesungguhnya terjadi di dunia pendidikan agar dapat tersaji secara proporsional dan obyektif sehingga bisa dicari solusi atau tindakan korektif atas permasalahan yang terjadi.

Tulisan ini bukanlah bertujuan untuk memprovokasi melakukan kudeta, peralihan kekuasaan ataupun perombakan secara destruktif dunia pendidikan di Indonesia, melainkan upaya refleksi bagi penulis pribadi dan bagi pihak-pihak yang berkompeten yang selama ini bergelut dengan dunia pendidikan untuk segera sadar dan segera berbenah dalam meningkatkan mutu kualitas pelayanan dilingkungan akademiknya. Tulisan ini juga bermaksud memberikan penyadaran bagi para pemegang kebijakan agar apresiasi, reward terutama bagi mereka-mereka yang senantiasa berupaya menghadirkan wajah-wajah ilmiah terutama di dunia kampus agar terus selalu diupayakan. Mereka-mereka yang memiliki prestasi dalam menampilkan wajah-wajah dunia pendidikan yang elegan merupakan aset berharga yang memiliki arti penting dalam proses  pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Indonesia kedepan.

Sebagai contoh, kampus sebagai miniatur wahana ilmiah dan intelektualitas sudah seharusnya tampil dan dihiasi dengan wajah-wajah keshalihan akademik, bukan dengan wajah-wajah hipokrit yang berhias dengan karya-karya ilmiah “jahitan dan copy paste”. Sungguh ! sebuah penistaan akademik apabila komponen-komponen intelektual, apalagi pendidik pada sebuah kampus dibangun atas dasar pola pikir mafia yang penuh dengan rekayasa pat gulipat! Lalu apa bedanya mereka dengan para –mohon maaf- para WTS yang menjual harga dirinya dengan kita yang menjual nilai- nilai sakral pendidikan dan kode etik keilmuan. Belum terlambat untuk sadar dan belum terlambat untuk bertaubat atas dosa-dosa akademik yang sedang atau telah kita lakukan.

Berbicara pendidikan dikampus, bukanlah hanya sekedar proses penerimaan pengetahuan yang diberikan atau yang diperintahkan orang lain, melainkan ada keterlibatan diri dalam proses pengetahuan, kemajuan kearah raison d’etre realitas. Makin kritis mahasiswa menyoroti masa lalu dan masa kini, dalam dan dengan dunianya, atau semakin mahasiswa kreatif dan kritis dalam mensiasati hidup memudahkan penyadaran mereka bahwa dunia bukanlah “blind alley”, jalan buntu, bukan situasi determinan yang hanya menimpa mereka. Tetapi masih banyak kita jumpai para pendidik atawa dosen yang begitu statis, kaku dan tekstualis dalam pembelajaran seolah-olah ilmu yang mereka ajarkan adalah wahyu Ilahiyah, apa yang mereka ajarkan adalah sesuatu yang taken for granded. Mereka menjelma menjadi sosok-sosok imitasi “religius Ilahi” yang anti-kritik dan represif- superior-hegemonik pada mahasiswa. Pada kasus ini hak mahasiswa tergadai bersama dengan pembelajaran yang jumud, menjemukan, anti kritik dan tentunya membosankan. Diperlukan usaha yang luar biasa untuk menumbuhkan kesadaran bagi para pendidik untuk meningkatkan competency,capability dankreatifitasnya dalam mengupayakan strategi jitu bagi proses pendidikan humanis bagi mahasiswa.

Semangat untuk berbagi aktifitas keilmuan salah satu contohnya, sayangnya saat ini masih ada dan dijumpai beberapa pendidik atawa dosen dan orang-orang yang bergelut dengan dunia pendidikan berkunjung ke wahana dunia maya hanya untuk sekedar update apa yang mereka pikirkan dan apa yang telah mereka lakukan, atau menonton life video atau tivi streaming, atau hanya sekedar mengklik link-link absurd, atau hanya mencari beberapa barang elektronik kesukaannya, seperti radio tape, mobil, TV, dll. Tetapi untungnya masih ada beberapa pendidik atawa dosen yang berkunjung ke internet mencari informasi-informasi terkait dengan kebutuhannya menambah pengetahuan dan sharing tulisan, artikel dan jurnal ilmiah. Mereka ini merupakan representasi, gambaran dari pendidik atawa dosen yang peduli dengan diri dan lingkungan kampusnya.

Lalu pertanyaannya kemudian, bagaimana menumbuh-kembangkan budaya akademik di kampus ? Dulu, Dr. Jahja Umar, mantan Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI sering menegaskan bahwa: “ Saya melihat di kampus banyak civitas politika ketimbang civitas akademika. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi suksesi rektor atau dekan. Civitas akademika berbondong-bondong ke kampus. Bahkan para dosennya biasanya begadang semalam suntuk hanya untuk membicarakan strategi bagaimana memenangkan calon yang diusungnya”. Atau dengan kata lain masih ada civitas akademika yang rela begadang semalaman untuk merekayasa data-data aplikasi kampus agar proposal dapat dikabulkan, atau masih ada civitas akademika yang rela begadang semalaman untuk memikirkan bagaimana mengajukan, merekayasa, memanipulasi proposal yang diajukan dan lain sebagainya. Sayangnya fenomena seperti ini tidak terjadi secara berimbang pada ranah budaya ilmiah akademik. Sebagai contoh faktanya banyak pada saat ini para dosen hanya melaksanakan program pembelajaran yang standar saja. Sementara di negara-negara maju, setiap dosen dalam seminggu memiliki “office hours”(jam kerja) tiga sampai lima jam hanya untuk melayani dan membimbing mahasiswa, ini belum termasuk kewajiban dosen yang sudah bersertifikasi memiliki beban kerja tujuh jam dalam satu hari. Biasanya dosen tertentu menuliskan secarik kertas di pintu kantornya yang di dalamnya tertulis mahasiswa mana yang telah dijadwal untuk melakukan bimbingan akademik. Prinsipnya adalah, dosen harus memberikan bimbingan dan pelayanan yang penuh kepada mahasiswa dalam hal ini tentunya berbanding lurus dengan pemahaman mahasiswa akan hak dan kewajibannya.

Setiap dosen juga memiliki link dengan internet, sehingga memudahkan para mahasiswa untuk mengakses latar dan dasar pemikiran sang dosen, baik melalui penelusuran karya-karya yang telah dihasilkan baik dalam bentuk buku, artikel dan ataupun power point. Harapannya adalah memudahkan para mahasiswa untuk mempelajari terlebih dahulu pokok-pokok pikiran sang dosen, atau dengan bahasa lain mahasiswa memiliki pengetahuan dan pemahaman karakteristik pemikiran dari dosen bersangkutan sebelum ia sendiri mengikuti perkuliahan di kelas.

Di sisi lain seorang dosen tidak mestinya mencari “objekan” di luar kampus. Seorang dosen harus menyadari sepenuhnya bahwa pilihan menjadi dosen memang harus siap hidup sederhana, dan tidak sampai kaya. Menjadi dosen harus siap bergelut dengan pekerjaan spiritual yang mencerahkan dan tentu jauh dari bidikan kata-kata “profit dan omzet”. Demikian pengakuan  Nico Kaptein salah seorang dosen di Leiden University, Belanda.

Tradisi akademik harus bertumbuh subur di kampus. Sudah barang tentu, ruh akademik di kampus harus tumbuh dan “diracik” dengan ajaran suci agama. Seperti nilai-nilai kejujuran. Sebab, salah satu kunci sukses adalah menjaga dan memelihara integrity (kejujuran). Kejujuran akademik saat ini menjadi barang langka dan susah dicari sekalipun kita mencarinya dikampus-kampus “Islam”!

Nilai-nilai utama Arab Pagan yang telah mendapat “peneguhan” al-Qur’an dapat menjadi inspirasi dan landasan moral bagi kita,para pelaku dunia pendidikan. Yakni: al-karim (kemurahan hati dalam berderma); al-syaja’ah (keberanian); al-hilm (sopan santun; murah hati); al-shidqu (kejujuran); al-wafa’ (kesetiaan; al-maufuna bi-‘ahdihim; setia dengan janji); dan al-shabru (kesabaran; ketabahan hati).  Tradisi akademik ini diharapkan pada akhirnya mampu melahirkan peserta didik yang memiliki kepercayaan yang tinggi (confidence of self). Success is about confidence, not about personal background, demikian kata Michelle Obama.

Abraham Lincoln (1809-1865) adalah Presiden A.S ke-16 yang sangat percaya diri. Pada hari pertama beliau dilantik, beliau menyampaikan pidato di depan Senator AS. Lalu ia dikritik oleh salah seorang senator (kaya dan aristokrat), bahwa dia itu hanyalah anak seorang penjahit tukang sepatu keluarganya. Atas kritikan ini, Abraham Lincoln menjawab:

Sir, I Know that my Father used to make shoes for Your family,

And there will be many others here,

Because He made shoes the way nobody else can.

He was A Creator,

His shoes were not just shoes

He poured his whole soul into them.

I want to ask you,

Have any complaint?

Because I know how to make shoes myself.

If you have any complaint I can make you another pair of shoes.

But as far I know, nobody has ever complained about my father’s shoes.

He was a Genius, A Great Creator.

Lalu, masihkah (tidak) perlu pendidik perlu berjiwa besar ? jawabannya ada pada niat dan komitmen Saudara sekalian yang telah memilih dunia pendidikan sebagai jalan hidup Saudara !

Paron Ngawi, Januari 2012

AwalTahun, Awal Berbenah

Tulisan ini terinspirasi dari narasi yang disampaikan oleh Dr. Muhammad Zain, MA. Kepala Sub direktorat Pengembangan Akademik, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Ditjen Pendis, Kemenag RI pada saat acara Capacity Building PTAIS Kopertais III dan IV di Hotel Utami Surabaya. Dan sungguh tulisan ini belum layak masuk ruang dapur Koran Lokal apalagi Koran Nasional yang memiliki nilai oplah gigantik!

Saat ini menjalani aktifitas sebagai staf tenaga pengajar pada Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Islamiyah Karya Pembangunan Paron Ngawi. Hingga tulisan ini tersaji penulis mengalami kegamangan karena belum memiliki NIDN, semoga dengan adanya tulisan ini mengetuk pihak-pihak yang berkewajiban dan memiliki kewenangan untuk mau melakukan kewajibannya, membantu keinginan penulis terkait hal tersebut diatas, May God Willing !

Untuk lebih jelasnya bagaimana kode etik kaum akademis lihat karangan dari Ibnu Jamaah yang berjudul “Tazkirat al- Sami’ wa al- Mutakallim” terbitan Beirut, 1986 yang telah disyarah oleh Prof. Dr. Hasan Asari, MA. Ibnu Jamaah memberikan panduan bagaimana kode etik seorang Pendidik, bagaimana kode etik murid dan bagaimana membangun kode etik akademis. Karya lainnya yang patut dicermati dan selama ini menjadi bahan rujukan di dunia pesantren tentang bagaimana seharusnya pendidikan dibangun dan bagaimana pengajaran mampu menyentuh ranah spiritualitas manusia adalah karya monumental dari Burhanudin al- Zarnuji dengan kitabnya Ta’lim Mutaallim, yang menjadi  teks sakral dalam dunia pengajaran di pesantren.

Dalam pandangan Freire, pendidikan merupakan sebagai keadaan “menjadi” bukan sesuatu yang selesai dan pendidikan harus dapat menyesuaikan diri dengan laju derap realitas, agar tetap bertahan dalam keadaan menjadi, atau dengan istilah membuka kesadaran terhadap realitas.  Freire mengajukan konsep pendidikan yang disebut dengan “problem posing of education”, yaitu pendidikan yang bersifat menghadapkan subjek didik kepada persoalan- persoalan problematik dengan cara berpikir kreatif dan inovatif dalam pemecahannya.

Konsep pendidikan ini akan mampu mendekonstruksi paradigma pendidikan yang selama ini berbasis pada “banking concept of education”, yaitu pendidikan tidak lebih seperti menaruh investasi atau menjejalkan sejumlah materi kepada anak didik yang pada akhirnya pendidikan hanya sebuah proses mekanisasi dan dehumanisasi manusia. Salah satu prasyarat yang dibutuhkan untuk ketercapaian “problem posing of education” adalah iklim demokratis. Freire dalam hal ini setuju dengan proposisi Karl Manheim, yang menyatakan bahwa “semakin proses demokratisasi menyebar secara massif, maka akan semakin susah untuk menyuruh rakyat tinggal dalam kebodohan”, maka konsekuensi logis dari proposisi ini diperlukan konstruksi bangunan dalam pendidikan yang dialogis- egaliter, rendah hati, kasih sayang, penuh harapan, kepercayaan dan sikap kritis.

Pendidikan yang dibutuhkan saat ini menurut Freire adalah pendidikan yang mampu menempatkan manusia pada posisi sentral dalam setiap perubahan yang terjadi, mampu mengerahkan dan mengendalikan perubahan tersebut. Adalah sebuah keniscayaan apabila kultur budaya akademik yang interaktif dan kritis yang mampu menyemai pribadi- pribadi yang independen. Freire berkeyakinan bahwa manusia tidak hanya berperan sebagai “ada” dalam dunia tetapi terlibat dalam hubungan bersama dunia, maka pendidikan harus diarahkan agar subjek mampu memahami realitas. Kesadaran kritis yang diintegrasikan pada diri dengan realitas akan menimbulkan kesadaran, pemahaman akan aksi dan tindakan.

Seorang pendidik, harus terconnect dengan dunia maya. Internet, Google adalah perpustakaan raksasa yang dapat diakses mudah, murah, any time, any where dan oleh siapa saja. Dalam hal ini Nicholas Carr mengingatkan bahwa internet dapat saja mendangkalkan cara berpikir kita. Membaca buku cetak lebih mudah dan lebih intuitif daripada buku dalam bentuk piksel di layar Komputer. Membaca buku cetak mendorong kita untuk lebih fokus dan dapat berpikir kreatif serta mendalam. Membaca buku di dunia maya akan terjadi yang sebaliknya, kita akan tergoda untuk mengklik informasi lainnya yang mungkin tidak terkait dengan bahan yang sedang kita baca dan lebih parahnya lagi kita terbuai dengan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan ( Nicholas Carr, The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains, 2010).

Bill  Gates baru-baru ini menulis dalam sebuah pengantar buku yang berjudul: Total Recall. Gates menegaskan bahwa internet sekarang ini merupakan penyimpan data yang sangat aman, akurat dan memudahkan semua orang.  Total recall, internet, google docs dapat membantu sebagai bank penyimpan data yang akurat terutama bagi seseorang yang mendekati umur tua akan semakin menurun daya ingatnya dan berkurang daya tangkapnya.

Harian Kompas menurunkan rubrik: Kejujuran dalam Keluarga yang ditulis Agustine Dwiputri, seorang psikolog. Menurut Linda K Popov, dkk dalam buku: The Family Virtues Guide ( 1997), jujur adalah tampil tulus, terbuka, dapat dipercaya dan menyampaikan kebenaran. Orang jujur memiliki integritas. Kalau mengatakan sesuatu pasti tidak berbohong apalagi menipu. Kalau memuji pasti ia mengatakan senyatanya, bukan karena mau menginginkan sesuatu.

Untuk membentuk kejujuran dalam keluarga, ada beberapa kiat sebagai berikut:

(1) Cocokkan perkataan dengan tindakan. Jangan sekali-sekali membodohi anak, atau jangan biarkan seorang anak membodohi anda; (2) Janji harus ditepati. Buatlah janji yang dapat ditepati; (3) Akuilah kesalahan, jika orang tua sewaktu-waktu berbuat kekeliruan. Itu lebih baik. (Kompas, Minggu, 7 Agustus 2011), h.18.

Miris sekaligus menyedihkan itulah gambaran saat penulis ketika harus bersumpah didepan seorang Profesor penguji yang mengajukan pertanyaan kesediaan penulis dan rekan-rekan untuk bersumpah bahwa Proposal Tesis yang diajukan merupakan hasil karya pribadi, bukan “jahitan” apalagi “permak”. Penulis sadar betul bahwa saat ini sedang terjadi dan bahkan menjadi trend-setter, yaitu adanya Pelacuran Akademik !

Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an,edisi revisi dari karya sebelumnya dengan  judul: The Structure of the Ethical Terms in the Koran, 1959.

Pada saat yang berlainan seorang ahi sejarah terkemuka Henry Adams, berkata : “a teacher effects eternity, he can never tell where his influence stops” (seorang guru itu berdampak abadi, ia tidak pernah tahu, dimana pengaruhnya akan berhenti).

Mohon maaf jika sebagian atau bahkan seluruh tulisan ini menyinggung perasaan para pendidik dan para dosen, sebagai terapi anggaplah rasa pahit, rasa getir dan rasa anyir dari tulisan ini laksana jamu kuat, dopping bagi Saudara sekalian! yakinlah bahwa usai rasa pahit dan getir akan terbit semangat dan keyakinan baru bahwa apa yang telah Saudara jalani selama ini merupakan jalan menuju pintu-pintu surga, itupun tergantung bagaimana Saudara mensikapi tulisan ini. Terima kasihdan mohon kritik konstruktifnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun