Mohon tunggu...
Munawar Hakimi Ahmad Qulyubi
Munawar Hakimi Ahmad Qulyubi Mohon Tunggu... Saya bukan penulis hebat, hanya seseorang yang belajar memahami hidup lewat tulisan. Jika ada yang tersentuh, biarlah itu jadi berkah kecil dari hati yang terus belajar. 🤍

Saya adalah manusia biasa yang masih belajar. Langkah saya mungkin perlahan, tetapi keinginan untuk terus tumbuh tidak pernah padam. Menulis bagi saya bukan sekadar hobi, melainkan cara untuk memahami hidup dengan lebih jujur. Saya menulis bukan karena sudah pandai, tetapi karena ingin terus belajar mengenali diri dan kehidupan. Saya percaya, setiap kalimat yang lahir dari ketulusan dapat membawa manfaat bagi orang lain. Tulisan-tulisan saya tumbuh dari kehidupan sederhana, baik di lingkungan pesantren maupun di ruang-ruang kecil keseharian. Dari sana, saya belajar bahwa manusia selalu berjuang memperbaiki diri, menata hati, dan menumbuhkan harapan di tengah keterbatasan. Saya terus berusaha, perlahan namun pasti, agar ilmu, pengalaman, dan tulisan saya dapat menjadi bagian kecil dari kebaikan yang lebih besar. Menulis bagi saya adalah perjalanan untuk belajar tanpa henti, dengan keyakinan bahwa setiap kata yang jujur akan menemukan jalannya sendiri menuju kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Kitab Menjadi Pelita: Memoar Cinta dari Al-Mannan

13 Oktober 2025   18:05 Diperbarui: 13 Oktober 2025   18:32 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.instagram.com/almannan.id

Al-Mannan bukan sekadar ruang belajar. Ia adalah ruang tumbuh, tempat kami belajar menjadi manusia seutuhnya. Di sinilah jiwa kami ditempa, bukan hanya agar pandai membaca, diskusi, tarkiban kitab kuning, tapi juga agar mengerti hidup. Hari-hari kami penuh khidmah, hafalan, sorogan kitab kuning, dan rutinitas panjang yang menuntut kesabaran tanpa batas. Tak ada ponsel di tangan, tak ada notifikasi dunia maya, yang ada hanya suara Kyai yang lembut tapi tegas, lantunan ayat-ayat suci yang menenangkan, serta aroma kopi hitam, rokok (khusus laki-laki saja yang sudah 19 tahun ke atas, karena di undang-undang di Pesantren Al-Musri' Pusat memang aturannya begitu) berputar bergiliran bersama barudak Al-Mannan di sela waktu istirahat yang singkat.

Kami duduk bersila di atas tikar lusuh; bahkan tidak ada tikar sama sekali, hanya beralaskan lantai saja: betapa indahnya kenangan itu barudak, mencatat makna per kata di meja kecil, menahan kantuk demi satu baris ilmu. Di situ, bersama A Aman yang selalu serius tapi penyayang, Mang Hanif yang kami panggil Ucing; yatim seperti saya, tapi tak pernah kehilangan tawa, dan Mama Khoer, sosok yang tekun dan penuh kesabaran. Di pojok lain ada Pak Rois, yang tak banyak bicara, tapi disiplin dan tegas seperti jam dinding di masjid: selalu mengingatkan waktu, tanpa lelah, kata barudak al-Mannan: Anda punya masalah? Pak Rois solusinya.

Dari keterbatasan itulah kami belajar tentang kelimpahan. Kelimpahan ilmu, kelimpahan makna, dan kelimpahan syukur. Di Al-Mannan, hidup sederhana terasa cukup. Satu gelas kopi bisa jadi kebahagiaan, selembar kertas penuh catatan bisa jadi kebanggaan. Kami tumbuh tanpa banyak pilihan, tapi dengan hati yang penuh keyakinan: bahwa setiap tetes keringat dan hafalan yang terbata adalah langkah kecil menuju ridha Tuhan.

Setiap pagi adalah bab baru perjuangan. Kami memulai hari dengan sorogan subuh di Masjid Al-Hidayah; masjid tua yang menyimpan gema doa dari generasi ke generasi. Di sana, udara dingin menyatu dengan suara pelan santri membaca kitab. Setelah itu, kami membersihkan lingkungan pondok (opsih) sambil bercanda. Kadang sapu patah, ember bocor, tapi hati kami tetap ringan. Dari Fathul Wahhab sampai Tafsir Jalalain, dari Bukhari Muslim hingga Nadzom Alfiyyah, semua kitab itu bukan sekadar pelajaran, tapi teman bicara dalam perjalanan panjang menjadi manusia.

Dan malam Rabu... ah, malam Rabu selalu punya kisahnya sendiri di Masjid Al-Hidayah. Seusai Magrib, kami berkumpul melingkar di bawah cahaya lampu temaram, bersiap untuk setoran hafalan kepada guru sorogan. Satu per satu maju dengan kitab di tangan, suara bergetar tapi hati mantap. Di antara kami, ada yang sibuk mengulang hafalan dengan bibir bergetar pelan, ada yang baru saja mulai menghafal sambil menatap kosong halaman pertama. Suasana hening, tapi penuh denyut semangat. Setiap napas seolah membawa doa agar tidak salah baca, agar hafalan lancar, agar Kyai tersenyum bahagia, Tarbiyyah-pun senang.

Di malam itu kami belajar sesuatu yang tak tertulis dalam kitab mana pun: tentang tanggung jawab atas diri sendiri. Bahwa tak ada yang bisa menggantikan usaha pribadi, bahwa ilmu tak akan datang pada yang lalai, dan bahwa keberanian untuk maju ke depan meski takut salah adalah bentuk kecil dari keikhlasan. Malam Rabu mengajarkan kami arti istiqamah; bahwa menjadi santri bukan soal bisa atau tidak, tapi mau terus mencoba dengan hati yang bersih.

Namun di antara kami, Mama Khoer selalu menjadi sosok yang istimewa. Ia tak hanya sabar, tapi juga luar biasa tekun. Sorogan Qirā’at Sab‘ah-nya kepada Pangersa Al-Maghfurlah KH. Hilman Abdurrahman adalah kisah yang kami kenang dengan kagum. Setiap pagi ia datang membawa kitab lusuhnya, tapi wajahnya bersinar oleh semangat yang tak biasa, tekun, selalu bersemangat. Ia membaca perlahan, huruf demi huruf, dengan suara bergetar tapi mantap. Bagi kami, ia adalah contoh hidup bahwa ilmu sejati bukan soal cepat, tapi soal tekun. Kini, ia melanjutkan langkah itu jauh di negeri para ulama, Universitas Al-Ahqaf, Yaman. Di sana, Mama Khoer membawa nama pesantren dan semangat Al-Mannan dengan rendah hati, menyalakan cahaya ilmu di tengah padang pasir Hadramaut. Ia mengajarkan kepada kami bahwa cita-cita tidak lahir dari kemewahan, melainkan dari kesungguhan dan doa yang panjang.

Namun, kisah kelasan Al-Mannan tak akan utuh tanpa menyebut nama besar di baliknya, Pendiri Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’ Pusat: KH. Ahmad Faqih. Beliau bukan hanya pendiri pesantren, tapi penjaga ruh perjuangan. Murid dari KH. Zaenal Mustafa, pahlawan nasional dari Tasikmalaya, yang membawa semangat jihad dan nilai Ahlussunnah Wal Jama‘ah ke tanah Cianjur. Dari Sukamanah ke Kebon Kalapa, hingga akhirnya mendirikan Pesantren Miftahul Huda Al-Musri’ Pusat. Beliau tidak hanya membangun pesantren, tapi menanamkan keyakinan bahwa ilmu harus dibarengi dengan adab, istiqomah, dan pengorbanan.

Kami, barudak Al-Mannan semoga pewaris ruh itu. Aaamiiin. Zaman boleh berganti, tantangan mungkin berubah rupa, tapi semangat itu tetap hidup di dada kami. A Aman kini menjadi guru ngaji di kampungnya; Ucing, si yatim yang penuh tawa itu, masih membawa keceriaan ke mana pun ia pergi; Mama Khoer menuntut ilmu di Yaman; dan Pak Rois, seperti dulu, tetap sederhana namun teguh. Kami terpisah jarak dan waktu, tapi satu hal yang tak pernah hilang: rasa yang menyatukan kami dalam ikatan tak kasat mata, ikatan yang hanya bisa diciptakan oleh pesantren.

Kini, ketika suara adzan di Masjid Al-Hidayah hanya bisa saya dengar lewat kenangan, saya tahu: setiap gema itu masih hidup di hati kami. Setiap ucapan Kyai, setiap balaghan yang membuat kami menunduk khidmat, kini berubah menjadi arah hidup. Dulu kami hanya mencatat, kini kami memahami: bahwa ilmu adalah cahaya yang tak pernah padam, selama masih ada hati yang mengingatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun