Mohon tunggu...
Mumud Salimudin
Mumud Salimudin Mohon Tunggu... Peneliti Ekonomi Syariah

Tertarik dengan isu-isu terkini seputar Ekonomi Pembangunan dan Ekonomi Publik dalam Perspektif Islam.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Maqashid Syari'ah: Memahami Tujuan dan Hikmah di Balik Hukum Islam

24 September 2025   06:07 Diperbarui: 23 September 2025   03:57 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah kita bertanya, di balik rutinitas ibadah dan rambu-rambu halal-haram dalam Islam, apa sebenarnya tujuan agung yang ingin dicapai? Mengapa shalat wajib lima waktu, zakat harus dikeluarkan, dan riba dilarang secara tegas? Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini sering kali hanya berhenti pada pemahaman "karena itu perintah Allah" tanpa menggali hikmah dan filosofi universal yang terkandung di dalamnya. Padahal, Islam adalah agama yang penuh dengan rahmat dan kebijaksanaan, di mana setiap hukumnya pasti mengandung maslahat bagi umat manusia. Jawaban dari segala rasa penasaran ini terletak pada sebuah disiplin ilmu yang sangat mulia, yaitu Maqashid Syariah. Memahami Maqashid Syariah ibarat memiliki peta harta karun yang mengungkap mutiara-mutiara hikmah di balik setiap syariat.

Secara definitif, Maqashid Syariah dapat dipahami sebagai kerangka tujuan universal dan rahasia ilahiah yang menjadi fondasi serta roh dari seluruh hukum Islam. Konsep ini tidak hanya sekadar membahas tentang "apa" yang diperintahkan atau dilarang, tetapi lebih dalam lagi, ia menjawab pertanyaan "mengapa" suatu hukum ditetapkan. Maqashid Syariah berfungsi sebagai kompas ilmu yang membimbing para ulama dan intelektual Muslim dalam melakukan ijtihad untuk menjawab problematika kontemporer yang tidak secara eksplisit dibahas dalam teks-teks suci. Dengan demikian, pemahaman terhadap Maqashid Syariah mencegah kita dari penerapan agama yang kaku, tekstual, dan kehilangan ruh kebijaksanaannya. Ia adalah kunci untuk mewujudkan Islam yang benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), karena seluruh tujuannya bermuara pada penciptaan kemaslahatan (kebaikan) dan penolakan terhadap kerusakan (mafsadat) dalam kehidupan manusia.

Oleh karena itu, untuk memberikan pemahaman yang komprehensif, artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai seluk-beluk Maqashid Syariah. Pembahasan akan dimulai dengan mengupas pengertian mendasar serta terminologi kunci dari konsep ini untuk membangun pondasi pemahaman yang kuat. Selanjutnya, akan dijelaskan sejarah perkembangannya, mulai dari gagasan awal yang terserak dalam karya-karya ulama klasik hingga kemudian disistematisasi menjadi sebuah disiplin ilmu yang mandiri oleh para imam seperti Al-Ghazali dan Asy-Syatibi. Tidak kalah penting, artikel ini akan menguraikan hierarki atau tingkatannya, mulai dari kebutuhan primer (dharuriyyat), sekunder (hajiyyat), hingga tersier (tahsiniyyat), yang menjadi pilar utama konsep ini. Terakhir, sebagai bentuk aplikasi nyata, akan disajikan berbagai contoh penerapan Maqashid Syariah dalam konteks kehidupan sehari-hari, khususnya dalam bidang ekonomi, sosial, dan teknologi, untuk menunjukkan relevansinya yang abadi sepanjang zaman.

Definisi Maqashid Syariah

Secara etimologi, istilah Maqashid Syariah berasal dari dua kata kunci dalam bahasa Arab. Kata pertama, Maqashid (مقاصد), merupakan bentuk jamak dari kata maqsud (مقصود) yang secara harfiah berarti tujuan, maksud, sasaran, atau yang dikehendaki. Kata kedua, Syariah (الشريعة), memiliki makna yang sangat dalam, merujuk pada jalan setapak yang jelas dan terbuka yang mengarah pada sumber air—unsur kehidupan yang paling vital. Dalam konteks terminologi Islam, Syariah berarti jalan hidup yang diturunkan oleh Allah SWT, mencakup seluruh hukum, perintah, dan larangan yang mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, sesama manusia, dan alam semesta. Dengan demikian, gabungan dari kedua istilah ini, Maqashid Syariah, dapat dimaknai sebagai "tujuan-tujuan agung, maksud-maksud ilahiah, dan sasaran-sasaran utama yang menjadi fondasi ditetapkannya seluruh hukum Islam". Pemahaman terhadap makna leksikal ini merupakan langkah awal yang krusial untuk memasuki khazanah ilmu ini lebih dalam.

Secara sederhana, Maqashid Syariah dapat dipahami sebagai "jiwa" atau "ruh" yang menghidupkan tubuh teks-teks hukum Islam yang tertulis. Jika teks-teks suci dan hukum-hukum fikih diibaratkan sebagai tubuh yang memiliki struktur dan bentuk, maka Maqashid Syariah adalah nyawa yang memberikan kehidupan, tujuan, dan arah pergerakan dari tubuh tersebut. Konsep ini berfungsi sebagai kompas ilmiah yang membimbing para ulama dan kaum muslimin untuk memahami semangat (spirit) dan hikmah di balik setiap aturan, bukan hanya terpaku pada bunyi harfiah teks semata. Pendekatan ini memungkinkan Islam untuk selalu relevan dan aplikatif dalam menghadapi setiap perubahan zaman dan kompleksitas problem kehidupan modern. Dengan berpedoman pada Maqashid Syariah, penerapan Syariat Islam dapat mewujudkan cita-citanya sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), karena selalu berorientasi pada terciptanya kebaikan universal.

Tujuan utama dari seluruh Maqashid Syariah ini bermuara pada satu prinsip fundamental: menjaga kemaslahatan (al-maslahah) umat manusia dalam segala aspek kehidupannya dan menghindarkan mereka dari segala bentuk kerusakan (al-mafsadat). Kemaslahatan yang dimaksud bukanlah keinginan subjektif atau hawa nafsu, tetapi segala sesuatu yang benar-benar mendatangkan kebaikan, keadilan, kesejahteraan, dan manfaat yang hakiki, baik di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, kerusakan adalah segala hal yang membawa keburukan, ketidakadilan, dan bahaya. Seluruh hukum Islam, dari yang terkait dengan ibadah ritual seperti shalat dan puasa hingga muamalah seperti jual beli dan pernikahan, dirancang untuk mewujudkan prinsip ini. Oleh karena itu, mempelajari Maqashid Syariah pada hakikatnya adalah memahami bagaimana Islam melalui ajarannya ingin melindungi dan memuliakan manusia, menjamin terwujudnya kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) dan kebahagiaan yang abadi (falah).

Sejarah dan Perkembangan Maqashid Syariah

Akar pemikiran Maqashid Syariah sesungguhnya telah tertanam kuat dalam sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Banyak ayat Al-Qur'an yang secara eksplisit maupun implisit menjelaskan hikmah dan tujuan di balik suatu hukum, seperti dalam QS. Al-Baqarah: 185 yang menegaskan bahwa Allah menghendaki kemudahan, bukan kesulitan, bagi umat manusia. Demikian pula, hadis-hadis Nabi SAW seringkali menyertakan penjelasan tentang ‘illat (sebab hukum) suatu perintah atau larangan, yang menunjukkan adanya tujuan tertentu yang ingin dicapai. Prinsip-prinsip umum seperti menegakkan keadilan, menolak keburukan, dan melakukan yang lebih maslahat menjadi bukti bahwa meskipun istilah "Maqashid Syariah" belum digunakan, esensi dan semangatnya telah hidup sejak awal turunnya wahyu. Pemahaman terhadap tujuan-tujuan universal ini telah dipraktikkan oleh para sahabat Nabi dalam ijtihad-ijtihad mereka, menunjukkan bahwa pendekatan teleologis terhadap hukum telah ada sejak era formative Islam.

Perkembangan pemikiran Maqashid Syariah sebagai sebuah disiplin ilmu yang terstruktur mengalami fase penting melalui kontribusi para ulama besar. Imam Al-Haramain Al-Juwaini (w. 478 H), guru dari Imam Al-Ghazali, diakui sebagai pencetus awal yang secara gamblang menyatakan perlunya mengetahui tujuan-tujuan di balik hukum-hukum Allah. Gagasan pionirnya ini menjadi bibit yang kemudian disirami dan dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya. Imam Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H) kemudian menjadi tokoh kunci yang melakukan lompatan signifikan dengan menjadi orang pertama yang secara sistematis merumuskan dan mengelompokkan tujuan-tujuan syariah tersebut. Dalam magnum opus-nya, Al-Mustashfa, Al-Ghazali memperkenalkan konsep lima tujuan primer (al-dharuriyyat al-khams) yang mutlak dilindungi, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Klasifikasi revolusioner ini memberikan kerangka kerja yang jelas dan menjadi fondasi bagi seluruh pembahasan Maqashid Syariah di kemudian hari.

Puncak dari kristalisasi dan sistematisasi ilmu Maqashid Syariah terjadi pada abad ke-8 Hijriah melalui karya monumental Imam Abu Ishaq Asy-Syatibi (w. 790 H) dalam kitabnya Al-Muwafaqat. Asy-Syatibi tidak hanya melanjutkan karya pendahulunya, tetapi melakukan elaborasi yang sangat mendalam dan komprehensif, sehingga ia dijuluki sebagai "Arsitek Maqashid Syariah". Dalam Al-Muwafaqat, ia tidak hanya membahas lima kebutuhan primer, tetapi juga menjelaskan hierarki kebutuhan sekunder (hajiyyat) dan penyempurna (tahsiniyyat), serta merumuskan metodologi untuk memahami dan mengaplikasikan maqashid dalam berijtihad. Ia menekankan bahwa seluruh hukum Islam berputar pada tujuan mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat. Melalui karya besarnya inilah, Maqashid Syariah benar-benar berdiri sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri, lengkap dengan teori, struktur, dan metodologinya, yang terus menjadi rujukan utama hingga hari ini.

Tingkatan Maqashid Syariah

Tingkatan pertama dan paling fundamental dalam hierarki Maqashid Syariah adalah Dharuriyyat, yang merujuk pada kebutuhan primer yang bersifat mutlak dan pokok bagi keberlangsungan hidup manusia. Kebutuhan ini merupakan fondasi yang harus ada untuk menjamin eksistensi kehidupan yang bermartabat dan teratur. Jika kelima kebutuhan pokok ini tidak terpenuhi atau dilanggar, bukan hanya akan timbul kerusakan (mafsadat) individu, tetapi juga kekacauan dan kehancuran dalam tatanan masyarakat secara keseluruhan. Kelima pilar pokok ini, yang dikenal sebagai Al-Kulliyat al-Khams, meliputi: 

  • Hifzhud Din (menjaga agama) yang menjadi landasan spiritual dan moral,
  • Hifzhun Nafs (menjaga jiwa) yang menjamin hak hidup dan keamanan individu,
  • Hifzhul 'Aql (menjaga akal) yang melindungi kemampuan berpikir dan menuntut ilmu,
  • Hifzhun Nasl (menjaga keturunan) yang memelihara kehormatan keluarga dan kelangsungan generasi, serta
  • Hifzhul Mal (menjaga harta) yang menjamin kepemilikan dan sirkulasi kekayaan secara adil. Seluruh hukum Islam yang bersifat mandatory, seperti larangan membunuh, kewajiban jihad, dan sanksi hudud, pada dasarnya bertujuan untuk melindungi kelima prinsip inti ini.

Tingkatan kedua adalah Hajiyyat, yang merupakan kebutuhan sekunder atau pelengkap yang berfungsi untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan dalam kehidupan. Meskipun ketiadaan Hajiyyat tidak mengancam eksistensi langsung dari lima pilar pokok, namun tanpa kebutuhan ini, kehidupan manusia akan dipenuhi dengan kesempitan, kesulitan, dan penderitaan yang tidak perlu. Kebutuhan sekunder ini berperan sebagai pelumas yang memudahkan jalannya kehidupan dan meringankan beban yang mungkin timbul dari penerapan hukum-hukum primer. Contoh nyata dari Hajiyyat adalah berbagai keringanan (rukhsah) dalam syariat, seperti diperbolehkannya berbuka puasa bagi orang yang sakit atau musafir, diperbolehkannya menjamak dan mengqashar shalat, serta kebolehan bertayamum ketika tidak ada air. Dalam muamalah, prinsip ini terlihat dalam dibolehkannya jual beli salam (pesanan) dan sewa-menyewa, yang meski memiliki unsur ketidakpastian, dibutuhkan untuk memudahkan urusan manusia.

Tingkatan tertinggi dan yang paling ideal adalah Tahsiniyyat, yang merupakan kebutuhan tersier atau penyempurna yang bertujuan untuk mewujudkan akhlak yang mulia, adab yang luhur, serta meningkatkan kualitas hidup manusia menuju kesempurnaan. Kebutuhan ini tidak terkait dengan menghilangkan kesulitan atau mencegah bahaya, tetapi lebih pada menyempurnakan sesuatu yang sudah baik menjadi lebih baik dan lebih terpuji. Tahsiniyyat mencerminkan nilai-nilai keindahan, kesopanan, dan kehalusan budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari. Contoh penerapannya sangat banyak dalam kehidupan, seperti anjuran berpenampilan rapi dan bersih ketika menunaikan shalat atau menghadiri majelis ilmu, larangan memakan makanan yang berbau menyengat seperti bawang mentah sebelum pergi ke masjid (untuk menjaga kenyamanan jamaah lain), serta penerapan etika dan adab yang tinggi dalam transaksi jual beli, seperti jujur, transparan, dan tidak menipu. Pemenuhan terhadap tingkat Tahsiniyyat ini menunjukkan kematangan keimanan seorang muslim dan berkontribusi besar dalam membangun peradaban yang tidak hanya aman dan sejahtera, tetapi juga penuh dengan keagungan dan kemuliaan akhlak.

Penerapan Maqashid Syariah dalam Kehidupan

Dalam bidang Ekonomi dan Keuangan, Maqashid Syariah memberikan kerangka etika yang jelas untuk membangun sistem yang berkeadilan. Larangan riba, misalnya, bukan sekadar pelarangan transaksi tertentu, tetapi merupakan instrumen fundamental untuk menjaga harta (Hifzhul Mal) dengan mencegah eksploitasi, pemusatan kekayaan, dan ketidakadilan dalam distribusi sumber daya ekonomi. Di sisi lain, kewajiban zakat berfungsi multi-dimensional; ia bertujuan menjaga agama (Hifzhud Din) dengan menyucikan jiwa dari kekikiran dan melatih ketaatan, sekaligus menjaga jiwa (Hifzhun Nafs) dengan mengentaskan kemiskinan ekstrem yang dapat mengancam nyawa dan martabat manusia. Prinsip-prinsip lain seperti larangan gharar (ketidakpastian yang berlebihan) dan maysir (judi) juga bertujuan melindungi harta dari kerugian yang tidak bertanggung jawab. Dengan demikian, sistem ekonomi Islam yang berbasis Maqashid Syariah dirancang untuk menciptakan sirkulasi harta yang sehat, stabil, dan berkeadilan sosial, yang pada akhirnya melayani tujuan-tujuan yang lebih tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun