Mohon tunggu...
Mulyono Ardiansyah
Mulyono Ardiansyah Mohon Tunggu... Pelatih Olimpiade Sains Indonesia

Mulyono Ardiansyah. Seorang lulusan BSc of NTU dan penulis yang suka mengeksplorasi berbagai tema kehidupan melalui kata-kata. Ia berusaha menciptakan cerita yang dapat menggugah emosi dan pemikiran pembaca. Ia berharap dapat menyentuh hati pembaca dan mengajak mereka merenungkan makna di balik setiap peristiwa. Terima kasih atas kesempatan ini untuk berbagi cerita. Kalian bisa lihat aktivitasnya di ig @kingrasastra sekaligus prestasi yang masih tersimpan.

Selanjutnya

Tutup

Money

Tonggak Hijau Masa Depan: Tanpa Bambu Indonesia Hanya Cerita Beton dan Banjir

4 Oktober 2025   14:40 Diperbarui: 4 Oktober 2025   14:40 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah desa kecil lereng Menoreh, Jawa Tengah, bambu tumbuh berderet di tepi sungai. Batang-batangnya berdesis ketika tertiup angin, akarnya mencengkeram tanah yang rawan longsor. Warga percaya, tanpa rumpun bambu, jalan desa sudah lama hanyut bersama arus. "Kalau bukan karena bambu, rumah saya bisa roboh," kata Siti, seorang ibu yang rumahnya hanya berjarak tiga meter dari aliran sungai.

Kalimat sederhana itu menggambarkan kebenaran yang sering kita abaikan. Di kota, bambu dianggap kuno dan murahan. Di desa, ia ditebang karena tak lagi punya nilai ekonomi. Padahal, di tengah krisis iklim, bambu adalah satu dari sedikit tanaman yang masih bisa menyelamatkan manusia dari kelengahan peradabannya sendiri.

Cerita Siti bukan hanya kisah pinggiran, tapi sebagai gambaran dari peran bambu yang diam-diam menyelamatkan kehidupan: menahan erosi, meneduhkan kampung, hingga menjadi sumber nafkah melalui anyaman, angklung, bahkan konstruksi rumah ramah lingkungan. Sayangnya, di balik segala peran vital itu, bambu sering hanya dianggap tumbuhan biasa.

Sejak lama bambu telah hadir dalam denyut sejarah bangsa. Pada masa perjuangan kemerdekaan, bambu runcing menjadi senjata rakyat melawan penjajah. Dalam budaya Jawa, pepatah mengatakan, "urip iku mung mampir ngombe, ojo kaku, kudu lentur koyo pring" (hidup itu singkat, jangan kaku, harus lentur seperti bambu). Filosofi ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati justru lahir dari kelenturan, sebagaimana bambu mampu menahan badai tanpa patah.

Di berbagai daerah, bambu juga hadir dalam tradisi: rebung sebagai makanan khas, angklung dan suling sebagai musik rakyat, serta rumah-rumah panggung di Sulawesi dan Sumatera yang banyak memanfaatkan bambu sebagai penopang. Artinya, bambu bukan sekadar sumber daya alam, tetapi juga identitas budaya yang membentuk jati diri bangsa.

Indonesia sebenarnya adalah "negara bambu runcing." Dari Sabang sampai Merauke, lebih dari 160 jenis bambu tumbuh alami. Bambu bisa hidup di tanah marginal, tumbuh cepat tanpa pupuk kimia, dan menyimpan cadangan air dalam jumlah besar. Ia bahkan mampu menyerap karbon lebih tinggi dibanding pohon jati atau mahoni.

Dari sisi ekonomi, data Badan Pusat Statistik menunjukkan, ekspor produk berbasis bambu---mulai dari kerajinan, alat musik, hingga furnitur---terus meningkat tiap tahun. Di banyak desa, bambu adalah penopang ekonomi rumah tangga. Namun ironisnya, pemanfaatan bambu belum sepenuhnya dilihat sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional.

Kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia masih lebih banyak menyoroti kayu keras, sawit, dan komoditas besar lain. Bambu sering tidak masuk dalam rencana tata ruang, tidak mendapat insentif riset, apalagi perlindungan hukum yang memadai.

Akibatnya banyak rumpun bambu ditebang habis tanpa rencana tebang-pilih. Lahan bambu beralih menjadi perumahan atau kebun monokultur. Padahal begitu rumpun hilang, tanah kehilangan penyangganya, sungai kehilangan penjaganya, dan desa kehilangan sumber penghidupan.

"Bambu itu seperti orang kampung: setia, berguna, tapi sering dipandang remeh," ujar seorang perajin anyaman di Garut. Kalimat sederhana ini menyiratkan kenyataan pahit: potensi besar bambu belum berbanding lurus dengan arah kebijakan.

Kebijakan bukan hanya dokumen yang tersimpan di meja birokrasi. Ia sebagai penentu arah, apakah rumpun bambu di tepi sungai akan tetap berdiri kokoh, atau habis ditebang tanpa bekas. Jika pemerintah mau serius, bambu bisa menjelma solusi tiga dimensi sekaligus: ekologi, ekonomi, dan sosial.

Di lereng Merapi, Yogyakarta, masyarakat menanam bambu petung untuk menahan longsor pascaerupsi 2010. Kini rumpun-rumpun itu tumbuh menjadi pagar hijau yang menjaga tanah dan memunculkan kembali mata air yang sempat hilang. Penelitian International Network for Bamboo and Rattan (INBAR, 2019) membuktikan, akar bambu mampu mengikat tanah hingga kedalaman 60 sentimeter dan meningkatkan cadangan air tanah secara signifikan. Bukankah ini bukti nyata bahwa bambu layak masuk ke dalam kebijakan tata ruang sebagai penahan erosi resmi di sempadan sungai dan lahan kritis?

Di Tasikmalaya, Jawa Barat, seorang pengrajin setiap hari memahat bambu menjadi kursi sederhana. Dengan pasar lokal yang terbatas, penghasilannya pas-pasan. Padahal, data Badan Pusat Statistik (2023) mencatat ekspor produk bambu Indonesia sudah menembus Rp200 miliar per tahun. Angka itu tetap jauh tertinggal dari Tiongkok yang menguasai 60% pasar dunia. Jika kebijakan memberi insentif---mulai dari kredit lunak, pelatihan desain, hingga akses ke pasar global---maka kursi bambu pengrajin bisa menembus dunia. Bambu tidak lagi dipandang sebagai "barang kampung", melainkan ikon ekonomi hijau yang membuka lapangan kerja baru.

Bagi masyarakat adat Dayak di Kalimantan, bambu adalah simbol identitas: ia hadir dalam musik, ritual, hingga arsitektur tradisional. Namun lahan-lahan bambu mereka makin terhimpit oleh perkebunan monokultur. UNESCO (2021) menegaskan bahwa keberhasilan konservasi bergantung pada pelibatan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya. Artinya, kebijakan yang berpihak harus turun sampai tingkat desa---melalui Peraturan Desa (Perdes) yang melindungi rumpun bambu dan mengatur pemanfaatannya secara adil. Dengan begitu, masyarakat adat bukan sekadar penonton, melainkan aktor utama dalam pelestarian.

Negara lain sudah memberi contoh. Tiongkok melalui National Bamboo Program mengintegrasikan bambu dalam industri konstruksi, bioenergi, hingga tekstil modern, dengan nilai industri mencapai lebih dari USD 60 miliar per tahun. India lewat National Mission on Bamboo Applications mendorong pemanfaatan bambu sebagai energi terbarukan dan bahan baku pulp kertas. Indonesia, dengan keragaman jenis bambu yang lebih kaya, seharusnya tidak kalah. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian politik untuk menjadikan bambu sebagai pilar dalam kebijakan nasional.

Tiga dimensi ini---ekologi, ekonomi, dan sosial---hanya bisa berjalan seiring jika negara hadir melalui regulasi yang berpihak. Kebijakan bambu bukan kebijakan kecil. Ia adalah investasi besar: mencegah bencana, menguatkan ekonomi desa, sekaligus menjaga warisan sosial-budaya bangsa. Dengan satu tonggak hijau, kita bisa menopang masa depan.

Di Bandung, sekelompok pemuda mengembangkan sepeda bambu yang ringan tapi kuat, dijual hingga Eropa. Di Bali, gerakan sedotan bambu tumbuh sebagai simbol perlawanan terhadap plastik sekali pakai. Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa generasi muda sudah lebih dulu melihat masa depan bambu, sementara kebijakan masih tertinggal di belakang. Jika energi kreatif anak muda dipertemukan dengan dukungan regulasi, maka bambu akan berubah dari sekadar tradisi menjadi inovasi global.

Kembali ke desa Siti di Menoreh. Setiap pagi, ia menyapu halaman bambu yang berguguran, lalu menjemur batang muda untuk dijadikan tiang jemuran. Sederhana, tapi itulah caranya merawat kehidupan. "Bambu itu teman saya," katanya pelan.

Dari cerita desa-desa seperti inilah, kita belajar bahwa bambu bukan sekadar tanaman pinggir jalan. Ia sebagai tonggak hijau masa depan. Saatnya kebijakan nasional tidak lagi memandang bambu sebagai pelengkap, tetapi sebagai pilar utama dalam menjaga bumi, menegakkan ekonomi desa, dan merawat warisan sosial budaya kita.

Filosofi bambu mengajarkan, semakin tinggi ia tumbuh, semakin ia menunduk. Batangnya tegak, namun lentur menghadapi badai. Kosong di dalam, tapi justru memberi ruang bagi kehidupan lain. Pertanyaannya: apakah kita, sebagai bangsa, mau belajar dari bambu untuk membangun masa depan yang kokoh sekaligus lentur menghadapi perubahan?

Jika tidak sekarang, kapan lagi?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun