Mohon tunggu...
Mulyono Ardiansyah
Mulyono Ardiansyah Mohon Tunggu... Pelatih Olimpiade Sains Indonesia

Mulyono Ardiansyah. Seorang lulusan BSc of NTU dan penulis yang suka mengeksplorasi berbagai tema kehidupan melalui kata-kata. Ia berusaha menciptakan cerita yang dapat menggugah emosi dan pemikiran pembaca. Ia berharap dapat menyentuh hati pembaca dan mengajak mereka merenungkan makna di balik setiap peristiwa. Terima kasih atas kesempatan ini untuk berbagi cerita. Kalian bisa lihat aktivitasnya di ig @kingrasastra sekaligus prestasi yang masih tersimpan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mantra yang Lebih Menakutkan dari Setan

25 September 2025   22:32 Diperbarui: 25 September 2025   22:50 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku pernah terkunci semalaman di kamar kos sendiri. Kedengarannya sepele dan nyaris konyol. Tapi malam itu jadi pengalaman paling menakutkan yang tak bisa dilupakan, bahkan lebih menakutkan daripada pernah dikejar anjing tetangga atau ditagih rentenir.

Awalnya sederhana: selesai lembur di toko fotokopi tempatku kerja, aku pulang sekitar pukul sebelas malam. Kosan ini letaknya di gang sempit, gang yang bahkan motor bututku malas melewatinya. Ibu kos bilang semua kamar sudah penuh, tersisa satu, nomor tiga belas. Aku tertawa waktu itu, karena angka sial di film-film akhirnya menempel padaku. Tapi aku tak punya pilihan.

Malam itu, begitu masuk kamar, aku merasa udara lebih pengap dari biasanya. Kipas angin kecil di pojok mendengung seperti serangga sakit. Aku menutup pintu, berencana langsung tidur. Tapi kunci pintu macet. Aku putar ke kiri, ke kanan, tak bergerak. Aku coba tarik, dorong, hentak dengan bahu. Pintu tetap bebal seperti kepala oknum pejabat.

"Bangsat," umpatku.

Aku pikir besok pagi bisa kuperbaiki bersama tukang kunci, jadi kutinggalkan begitu saja. Aku rebah di kasur tipis yang kapuknya menggumpal ke satu sisi. Bau apek kasur itu merembes ke hidung, bercampur dengan wangi karbol murahan dari lantai.

Kamar itu sempit, hanya muat kasur dan meja belajar reyot bekas penghuni lama. Lacinya macet, salah satu gagang lepas. Di atas meja ada cermin kecil retak di sudutnya, yang entah kenapa membuatku enggan menatap terlalu lama. Dari ventilasi, terdengar samar suara televisi kamar sebelah, lalu mendadak hilang, seperti seseorang buru-buru mengecilkan volume begitu tahu aku memerhatikan

Tapi belum sampai terlelap, terdengar suara tok-tok-tok di pintu. Tiga kali, jelas, pelan, seperti ketukan orang yang tak ingin mengganggu tapi tetap ingin didengar.

Aku membeku. Jam dinding menunjukkan pukul dua belas lewat seperempat. Siapa yang iseng mengetuk pintu kamar orang tengah malam?

Aku diam, pura-pura tidur. Tapi suara itu datang lagi. Tok-tok-tok. Lebih keras, lebih sabar.

Aku mendekat, menempelkan telinga ke pintu. Tidak ada suara napas di baliknya, tidak ada bayangan kaki. Kosan ini lorongnya sempit, mestinya kalau ada orang berdiri di depan pintu, aku bisa mendengar gesekan sandal atau dengus napas. Tapi sunyi.

Aku ingin membuka pintu. Namun kunci macet, dan itu justru yang membuatku merinding. Andai kunci tidak rusak, mungkin aku sudah nekat membuka pintu, entah siapa pun yang berdiri di sana.

Ketukan berhenti setelah kira-kira sepuluh menit. Aku kembali ke kasur, mencoba menutup mata, tapi jantung berdetak kencang. Lalu dari langit-langit terdengar geretak. Suara papan dipijak. Padahal kamar kos ini lantai dua terakhir. Di atas hanya ada atap seng berkarat.

Aku menyalakan lampu. Cahaya redup bohlam lima watt menyoroti dinding lembap, catnya mengelupas seperti sisik ular. Tak ada apa-apa. Tapi suara geretak itu berulang, pindah dari pojok ke pojok.

Kali ini aku benar-benar takut. Aku duduk di kasur, memeluk lutut. Ponselku kutatap, sinyal hilang total. Biasanya masih ada setidaknya satu batang sinyal, meski lemah.

Kubuka aplikasi catatan, menulis: Kalau aku mati malam ini, biar orang tahu aku terkunci di kamar kos nomor tiga belas.

Aku sendiri geli membaca tulisanku, tapi jari gemetar membuat kata-kata terlihat lebih serius dari maksudnya.

Aku teringat almarhum bapak. Waktu kecil aku suka menangis ketakutan saat mati lampu. Bapak sering berkata, "Jangan takut sama gelap. Yang bahaya itu kalau ada orang dalam gelap, dan dia tahu kamu sendirian." Malam itu kalimat bapak menempel di kepala, seperti baru saja ia bisikkan.

Aku bahkan bisa membayangkan wajahnya, samar seperti muncul di dinding lembap. Semakin aku tatap, semakin jelas bayangan itu, sampai akhirnya aku menutup mata sendiri, takut kalau yang kulihat bukan lagi wajah bapak.

Pukul satu dini hari, listrik tiba-tiba padam. Bohlam mati, kipas berhenti, lorong kos tenggelam dalam gelap.

Aku menyalakan ponsel, cahaya layar jadi satu-satunya pelita. Dan dalam cahaya redup itu, aku melihat sesuatu: noda hitam di dinding. Noda itu seperti bentuk tangan, dengan lima jari terbuka. Aku yakin sebelumnya noda itu tidak ada.

Aku mendekat. Ternyata itu benar-benar bekas tangan, entah terbuat dari apa, baunya asam. Aku coba gosok dengan tisu, tak hilang. Justru meninggalkan bercak lebih besar, seolah tangan itu melebar.

Aku panik, melompat ke kasur, menarik selimut menutupi badan. Aku berdoa seadanya, campur aduk: doa makan, doa tidur, bahkan doa perjalanan. Apa saja, asal menenangkan.

Sesekali aku berbicara sendiri, mencoba meyakinkan, "Ini halusinasi. Hanya bayangan. Besok pagi hilang." Tapi suara sendiri terdengar asing, seperti mulut orang lain yang menirukan suaraku.

Ketukan pintu kembali terdengar. Kali ini tak lagi sabar, melainkan tergesa-gesa. Tok-tok-tok-tok-tok!

Aku menjerit, tapi suara jeritku tertelan oleh lorong kosong. Kupukul-pukul dinding, berharap ada penghuni lain yang mendengar. Tapi tak ada balasan, seolah seluruh kos ikut terhisap dalam tidur yang terlalu dalam. Tubuhku berkeringat, bajuku basah menempel di kulit. Tenggorokan kering, aku meraih botol air di meja tapi menjatuhkannya. Air tumpah, mengalir ke lantai, membentuk genangan kecil yang tampak berkilau dalam cahaya ponsel. Genangan itu memantulkan sesuatu---sebuah bayangan bergerak di langit-langit---padahal aku tidak melihat apa pun di atas.

Entah bagaimana, aku tertidur juga. Ketakutan kadang bisa membuat orang kelelahan. Saat terbangun, jam menunjukkan pukul lima pagi. Cahaya samar matahari masuk dari celah ventilasi. Aku bangkit, mencoba membuka pintu lagi. Kunci masih macet.

Aku menendang keras-keras. Sekali, dua kali, tiga kali. Pada tendangan keempat, pintu terhempas terbuka.

Lorong sepi. Tidak ada tanda-tanda seseorang semalam berdiri di depan pintuku. Aku keluar, menatap ke kiri kanan, mendengar hanya suara ayam dan sapu ibu kos yang menggesek lantai.

"Bu!" panggilku. "Kunci pintu saya rusak, semalaman saya terkunci!"

Ibu kos menoleh dengan wajah tenang. "Ah, biasa itu. Kamar tiga belas memang suka begitu."

Kata-kata itu sederhana, tapi menamparku. Biasa? Berarti bukan cuma aku yang mengalaminya.

Aku menunggu ia menambahkan sesuatu---candaan, penjelasan, atau sekadar rasa iba. Tapi ia kembali menyapu dengan ritme pelan, seolah kalimatnya barusan hanyalah laporan cuaca.

Saat aku melangkah ke luar lorong, sempat kulihat pintu kamar nomor dua terbuka sedikit. Ada mata mengintip, lalu buru-buru menutup kembali. Aku ingin mengetuk, bertanya apakah mereka mendengar ketukan semalam, tapi langkah kakiku berat. Tatapan singkat itu cukup menjawab: mereka tahu sesuatu, hanya saja memilih diam.

***

Aku pindah kosan dua minggu kemudian. Tapi setiap malam, sejak kejadian itu, aku selalu memastikan pintu bisa terbuka sebelum tidur. Dan kalau mendengar ketukan pintu tengah malam, aku lebih memilih pura-pura tuli.

Karena yang paling menakutkan dari malam itu bukanlah suara ketukan, bukan pula noda tangan di dinding, melainkan mantra yang lebih menakutkan dari setan: kenyataan bahwa orang lain menganggap semua itu biasa saja.*

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun