Cerbung
Hembusan Angin Cemara Tujuh 10
Sutopo menarik nafas dalam dalam, siap menghubungi Sumitro sahabatnya semasa kuliah itu dari telepon umum , dekat terminal bus Cililitan.
Dia ingin suaranya tidak terdengar lemah, gelisah atau rentan. Harus terdengar biasa saja, rasional dan penuh perhitungan. Ada rasa gengsi juga, karena waktu itu dia sudah pamit untuk merantau dan berjuang di Jakarta, dan sekarang ternyata baru setahun sudah pingin kembali lagi ke Yogya.
Tapi  tiba tiba ia merasa lega ....lega sudah mengambil keputusan untuk kembali ke Yogya, ke habitat yang dia rasa paling tepat dan kondusif untuk dirinya.
Telepon sudah terhubung. Masih seperti gayanya yang dulu, Sumitro cengengesan menerima telepon Sutopo.
Sutopo kadang kadang susah membedakan apakah Mitro lagi serius atau guyonan. Segala rasa ditanggapi dan diungkapkan dengan gaya cengengesan, meskipun sebenarnya Mitro itu perasa juga, bahkan kadang kadang gembeng ( gampang nangis )
" e boss Jakarta, long time no see, tumbenan telepon telepon, opo Jakarta sudah mulai gegeran? Gimana kabarnya?
Suara Mitro jauh di Yogya sana , gemerincing seperti keprekan tongkat tukang pijat tunanetra di tengah malam menyusuri gang gang kampung Yogyakarta.
" kabarku baik, sehat waras, kelihatannya kamu Happy Happy ya di Yogya, suaramu tambah nyaring, kayak piring pecah "
" ha ha, iya bener, jadi Dosen memang asyik, ketemu mahasiswa yang fresh fresh bikin kita kita para dosen muda ini selalu termotivasi dan bergairah, Yah Meskipun harus rajin rajin baca jurnal dan literatur