Di ruang kuliah hukum dagang, kita kerap diajarkan perbedaan klasik antara usaha berbadan hukum dan usaha tidak berbadan hukum. Pemisahan tanggung jawab, perlindungan hukum, hingga kredibilitas usaha menjadi alasan utama kenapa badan hukum seperti Perseroan Terbatas dianggap ideal. Namun, ketika teori itu dipindahkan ke lapangan, wajah yang kita jumpai tidak selalu seindah teks undang-undang.
Fakta di lapangan menunjukkan, mayoritas pelaku usaha kecil di Indonesia masih berjalan tanpa badan hukum. Mereka memilih cara instan: membuka warung, merintis toko daring, atau membangun jaringan usaha berbasis kepercayaan keluarga. Bukan karena mereka tidak paham risiko, melainkan karena realitas hukum sering kali terasa mahal, berbelit, dan jauh dari jangkauan rakyat kecil.
Di sinilah letak paradoks hukum dagang kita. Negara mendorong UMKM naik kelas, mengajak mereka mengakses pembiayaan perbankan, atau berjejaring ke pasar global. Namun, akses itu ditutup dengan pintu birokrasi yang rumit: akta notaris, biaya administrasi, hingga kewajiban perpajakan yang tidak jarang menakutkan bagi mereka.
Lalu bagaimana dengan usaha berbadan hukum? Benar, statusnya membawa perlindungan dan kredibilitas. Tetapi di balik itu, ada pula celah yang membuat badan hukum menjadi "tameng" untuk menghindari tanggung jawab moral. Berapa banyak kasus korupsi, penipuan investasi, hingga penyalahgunaan dana publik yang berlindung di balik nama PT atau yayasan? Bukankah justru status hukum yang seharusnya memberi kepastian sering dipelintir menjadi alat untuk mengelabui hukum itu sendiri?
Artinya, diskursus mengenai badan hukum versus tidak berbadan hukum tidak cukup berhenti pada teks perundang-undangan. Yang lebih penting adalah membangun kultur kepercayaan dan integritas. Usaha berbadan hukum akan berarti jika diiringi akuntabilitas, sementara usaha tanpa badan hukum tetap bisa dipercaya jika dijalankan dengan kejujuran.
Di era digital ini, kita bahkan mulai melihat "bentuk usaha ketiga": usaha berbasis platform daring. Mereka tidak sepenuhnya berbadan hukum, tetapi eksistensinya diakui oleh konsumen, didukung sistem pembayaran elektronik, dan bahkan dilindungi oleh regulasi fintech. Mungkin, inilah isyarat bahwa hukum dagang kita harus berani melakukan pembaruan lebih progresif, bukan sekadar memaksa rakyat kecil menyesuaikan diri dengan struktur lama yang kaku.
Akhirnya, memilih antara berbadan hukum atau tidak memang penting. Tapi lebih penting lagi adalah menanyakan: apakah hukum kita sudah benar-benar hadir untuk rakyat, atau justru rakyat yang terus dipaksa menyesuaikan diri dengan hukum?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI