Oleh: Mulyanto
Hidup sebenarnya simpel. Tapi gengsi telah membuat hidup ini rumit. Maka yang bahagia di dunia ini adalah yang banyak bersyukur dan selalu merasa cukup karena hidup itu sendiri telah melimpah rezeki dari Allah Sang Maha Kasih.
Kisah Maternam dan Fajriah (tentu keduanya nama samaran biar tidak kualat) adalah bukti bahwa hidup itu simpel dan tidak perlu memelihara gengsi berlebihan.
Agar enak dibaca mari nama kedunya kita sederhanakan menjadi Nam dan Ria.
Siapa sangka mereka yang kini telah mengarungi samudera rumah tangga bahagia, dengan bahtera cinta 22 tahun silam itu ternyata kisahnya bermula di dalam Kereta Api. Mereka bertemua pertama kali di Kereta Api Sancaka dengan tujuan akhir Surabaya Gubeng.
Sore itu mereka duduk bersebelahan di bangku 12A dan 12B. Si Nam malu-malu, si Ria juga sama. Mereka hanya saling senyum singkat menandakan sapaan pertama berjumpa dalam gerbong 3 di Stasiun Tugu Jogja.
Kereta api berangkat. Mesin kereta menderu-deru, penumpang komat-kamit melantunkan doa.
Nam yang duduk di tepi jendela terus membolak-balik novel agak tebal bersampul kuning di tangannya.
Sedangkan Ria selepas menelpon atau menerima telepon dari Ibunya di Surabaya lantas bersendekap. Berfikir, ya melamun. Matanya menerawang. Kadang melepas senyum juga mengangguk-ngangguk seperlunya pada pramugara ganteng yang menawarkan kopi panas.
Nam sebenarnya fresh graduate dari UGM. Jurusan matematika. Guru mestinya kalau mau melamar kerja. Ini adalah kepulangan dalam rangka rindu ibunya di Sumenep. Mungkin ke depan balik UGM untuk menyelesaikan urusan ijazah, dll. Nam nanti sesampai di Gubeng masih perlu naik bis. Dan butuh sekira 3 jam untuk sampai di kampungnya, di kabupaten paling timur pulau Madura itu.
Sedangkan Ria adalah masih menyusun skripsi di kampus UMY. Dia mengambil jurusan farmasi. Kepulangan ini karena rindu juga sama kedua orangtuanya.