Mohon tunggu...
Mulyadi Djaya
Mulyadi Djaya Mohon Tunggu... Dosen Univ. Papua -

Memotret Papua bagai oase yang tidak pernah kering. Terus berkarya untuk Indonesia yang berkemajuan (#dosen.unipa.manokwari).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cenderawasih, Burung Langka Menyimpan Misteri

29 Januari 2018   23:10 Diperbarui: 29 Januari 2018   23:45 4678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://yourshot.nationalgeographic.com

Sampai saat ini burung Cenderawasih masih menyisakan misteri. Belum ada satu pun catatan yang bisa memastikan tentang asal-usul  dan arti "Cenderawasih" itu sendiri. Hanya ada di dalam cerita atau dongeng rakyat Papua bahwa burung Cenderawasih adalah jelmaan seorang anak laki-laki bernama Kweiya.

Orang Papua sendiri menyebutkan beberapa nama burung indah tersebut. Ada yang menyebutnya "Bidadari tak Berkaki" atau sering disebut Apoda.Sebagian lagi menyebutnya sebagai "Titisan Bidadari dari Surga" karena kecantikannya. Yang sangat menarik dan masih misteri disebut "tak berkaki". Padahal nyatanya semua jenis burung pasti memiliki kaki yang lengkap untuk berpijak pada pohon yang dihinggapi.

[Bidadari Tak Berkaki]

Mengapa demikian? Penyebutan bidadari tak berkaki mulai dikembangkan oleh masyarakat lokal yang sering melakukan perburuan burung Cenderawasih karena yakin benar bahwa burung tersebut bukan berasal dari bumi, berasal dari dunia luar yaitu dari negeri surga atau kayangan. Burung yang memiliki bulu yang indah dengan beraneka warna itu hanya berjalan atau bertengger di pohon yang tinggi. Tidak pernah terbang di pohon yang rendah apalagi menyentuh tanah.

Versi lain menyebutkan bahwa burung yang berhasil ditangkap dengan cara ditembak dengan panah maupun dengan memasang jerat jarang sekali bisa hidup untuk dipelihara. Cenderawasih yang mati diawetkan dalam bentuk kering dengan "memotong kaki dan sayapnya", baru dijual kepada saudagar yang datang. Maka dengan demikian burung surga tak berkaki ini menjadi mitos ke seantero dunia seperti ke Tiongkok, Arab, dan Eropa.  

Hingga sekarang satu-satunya burung yang sulit ditemukan dalam kondisi hidup di dunia adalah burung cenderawasih! Adapun yang ada di alam aslinya atau di wilayah penangkaran. Kita bisa melihat dalam bentuk sudah diawetkan menjadi hiasan dan topi mahkota yang diperlihatkan jika ada prosesi adat dan pertunjukan tari-tarian khas Papua.


[Raja Sriwijaya Menyebut Cenderawasih]

Demikian juga nama Cenderawasih sulit ditemukan dalam kamus. Namun bila dihubungkan dengan sejarah keberadaan Irian Jaya sendiri, memiliki hubungan erat dengan penyebutan burung Cenderawasih yaitu sejak abad ke-8. Pada saat itu sudah ada hubungan langsung dan tidak langsung antara Irian Jaya dengan Kerajaan Sriwijaya. Dibuktikan dengan burung-burung yang berasal dari Irian Jaya yang dibawa oleh utusan Raja Sri Indrawarman dari Sriwijaya untuk dipersembahkan kepada Kaisar Tiongkok.

Sriwijaya menyebut pulau Irian dengan "Janggi". Sedangkan  orang Tiongkok menyebutnya "Tungki". Sehingga kalau dihubungkan dengan kata Cindera yang berasal dari bahasa Sangsekerta yang berarti oleh-oleh atau persembahan, maka Cenderawasih bisa diartikan oleh-oleh dari negeri Janggi atau Tungki yakni Irian itu sendiri.

[Terkenal ke Asia hingga Eropa]

Populeritas burung Cenderawasih berlanjut pada abad ke-13 hingga 19 ketika berdatangan bangsa Eropa seperti Spanyol, Portugis, dan Belanda mencari rempah-rempah dan ingin menduduki Papua kala itu. Juga sudah banyak saudagar-saudagar Melayu seperti dari Bugis, orang China, dan Arab yang mengunjungi Maluku hingga Papua untuk berdagang dan membeli rempah-rempah seperti cengkeh dan pala, serta burung Cenderawasih.

Saudagar Melayu yang sudah lama memperdagangkan bulu Cenderawasih menyebutnya "Manuk Dewata" atau Burung Tuhan. Orang Portugis telah melihat burung itu tidak memiliki kaki atau sayap, dan tidak bisa mengetahui bentuknya yang asli mereka menyebutnya "Passaros de Col" atau Burung Matahari. Orang Belanda bernama John van Linschoten pada tahun 1598 berada di daratan Papua  menulis dalam bahasa latin "Avis paradiseus" atau Paradise Bird (Burung Surga).

Di kepulauan Melayu dan Singapura burung ini disebut "Burong coati" atau burung mati. Karena tidak pernah melihat burung ini dalam kondisi hidup. Dilihat hidup di udara, dan selalu terbang ke arah matahari sehingga tidak pernah menginjakkan kakinya di bumi sampai mereka mati. Oleh karenanya disebut burung ini tidak memiliki kaki atau sayap ketika dibawa ke India dan kadang-kadang ke Belanda dengan harga yang sangat mahal. Karena dianggap sebagai burung dari surga hingga dijadikan sebagai mahkota para raja-raja di Eropa

 [Keindahan Bulu dan Menari]

Sebagai burung dari surga terutama cenderawasih jantan karena kemolekan dan keindahan warna-warni yang menghias hampir seluruh tubuhnya. Seperti warna hitam, cokelat, oranye, kuning, putih, biru, merah, hijau, dan ungu. Burung ini semakin molek dengan keberadaan bulu memanjang dan unik yang tumbuh dari paruh, sayap, atau kepalanya. Sangat indah dipandang mata.

Penampilan kemolekan bulu tersebut sebagai pemikat kepada lawan jenisnya atau cenderawasih betina pada saat musim kawin tiba. Cenderawasih jantan  memamerkan keindahan bulunya sembari melakukan gerakan-gerakan atraktif serupa tarian yang dinamis dan indah untuk "merebut" perhatian para betina agar mendekat. Memang tiap jenis cenderawasih memiliki jenis tarian dan atraksi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Demikian juga teritoria wilayahnya.

[Wallace Penasaran dengan Cenderawasih]

Tersebarnya tentang keindahan burung yang masih dinyatakan aneh itu membuat penjelajah dan peneliti biologi Alfred Russel Wallace dari Inggeris melakukan penelitian demgan mengoleksi burung dan serangga di kawasan New Guinea yaitu mendarat di Dorey (sekarang Manokwari) selama empat bulan pada tahun 1858. Sayang sekali selama di Manokwari -- setelah menjelajah Pegunungan Arfak, sedikit mendapatkan jenis burung termasuk cenderawasih, justru yang banyak ditemukan adalah jenis-jenis serangga terutama semut.

Tidak puas dengan belum ditemukan jenis-jenis Cenderawasih, Wallace -- setelah mendapat informasi bahwa burung surga yang indah itu banyak terdapat di gugusan pulau Waigeo dan Misool Raja Ampat, maka pada tahun bulan Juli-September 1860 melakukan pengamatan khusus burung Cenderawasih.

Diceritakan dalam BAB 36 dalam buku The Malay Archipelago bahwa penduduk asli di desa Muka Waigeo nampaknya menutup diri tentang keberadaan burung Cenderawasih terhadap pendatang asing berkulit putih. Justru menunjukkan lokasi yang lain di Kampung Bessir. Namun Wallace meyakinkan penduduk setempat bahwa telah mendengar banyak suara burung cenderawasih.

Benar, ketika dia masuk ke kawasan hutan tersebut dia melihat sendiri sekumpulan burung cenderawasih. Burung tersebut sangat pemalu dan bersembunyi. Pertama kali Wallace bertemu sangat dekat dengan seekor cenderawasih jantan yang memiliki bulu yang sangat indah warna merah yaitu jenis Paradisea rubra. Disebutkan, burung itu terbang sangat rendah dan berlari sepanjang dahan untuk mencari serangga. Jantan besar sangat aktif dan kuat, bergerak terus menerus sepanjang hari. Bulunya yang hitam panjang seperti filamen dengan ekornya menjontai dan melengkung. "Sungguh sangat indah sehingga sulit untuk dibayangkan," kata Wallace dengan rasa kagum. Namun saat itu tidak berhasil menangkapnya, burung masuk ke hutan.

Dari penduduk setempat diperoleh penjelasan tentang sarang burung Cenderawasih dibuat dari dedaunan kemudian ditempatkan di atas sarang atau didahan yang menonjol di pohon yang sangat tinggi. Bahwa setiap sarang hanya berisi seekor anak burung. Bentuk telur Cenderawasih bentuk tidak diketahui karena belum pernah menemukan.

Penduduk setempat memburu cenderawasih dengan menembaknya dengan panah tumpul untuk melumpuhkan burung. Diintip dari bawah pohon. Burung itu datang saat matahari terbit, bergerombol, menari-nari, pada saat itulah burung ditembak hingga terjatuh, dibunuh tanpa merusak bulu dan tidak dikotori oleh setetesan darah.

Kemudian cenderawasih diawetkan dengan cara memotong sayap dan kakinya, kemudian menguliti tubuhnya sampai ke paruh. Memasang kayu kecil untuk menegakkan tubuh burung, kemudian diisi dedaunan ke dalam tubuh burung tersebut. Terakhir tubuh cenderawasih dibalut dengan sabut kelapa kemudian diasapi di atas perapian agar bulunya tetap seperti aslinya.

Pengembaraan selama delapan bulan di Papua, Wallace berhasil mengumpulkan 18 jenis burung Cenderawasih yang dicatat secara rinci karena dianggap paling menarik dan indah seperti: Paradisea apoda (burung surga tanpa kaki), Paradisea regia (Raja burung surga), Diphyllodes speciosa, Pardisea papuana Bechstein (Cenderawasih kecil), Paradisea rubra Viellot (Cenderawasih merah), Lophorina atra (Cenderawasih kilap/Cenderawasih kerah), Parotia sexpennis (Cenderawsih emas atau Cenderawasih bertungkai enam), dan Epimachus magnus (Cenderawasih ekor panjang). Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun