Kelompok Kepentingan Makan Bergizi Gratis, Cermin Aristokrasi Louis XVI PrancisSejarah memiliki kebiasaan buruk untuk mengulang dirinya sendiri, terutama bagi mereka yang menolak untuk mendengarkan gemanya. Dua setengah abad yang lalu, di Prancis, seorang raja yang ragu-ragu dan terputus dari realitas rakyatnya, Louis XVI, menghadapi kebangkrutan negara dan kelaparan massal dengan serangkaian reformasi yang gagal. Ia dikelilingi oleh kaum bangsawan yang gigih mempertahankan hak istimewa mereka, menolak setiap perubahan yang mengancam zona nyaman mereka, sementara rakyat jelata menanggung beban pajak yang menghancurkan. Keraguan sang raja dalam membongkar sistem yang korup dan eksploitatif ini berujung pada Penjara Bastille, revolusi, dan akhirnya, guillotine-dipancung.
Hari ini, di Indonesia, gema yang sama terdengar bukan dari istana Versailles, melainkan dari dapur-dapur umum program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program yang dijanjikan sebagai "pusaka bangsa" telah menjadi monumen kegagalan sistemik. Alih-alih roti, yang kita saksikan adalah keracunan. Alih-alih pemberdayaan, yang kita dapatkan adalah UMKM yang terjerat utang miliaran rupiah. Dan alih-alih kesehatan, yang kita panen adalah lebih dari 6.400 anak yang menjadi korban keracunan massal dalam sebuah darurat kemanusiaan nasional.
Namun, di tengah bencana ini, "aristokrasi birokrasi" modern kita---para teknokrat dan pejabat yang terisolasi dalam menara gading kekuasaan---menawarkan solusi yang sama tuli nadanya dengan yang pernah ditawarkan oleh para bangsawan Prancis: "lanjutkan sambil evaluasi." Ini bukanlah seruan untuk kehati-hatian. Ini adalah manifesto pelestarian diri. Ini adalah pembelaan mati-matian terhadap sebuah sistem terpusat yang memberi mereka kontrol atas anggaran triliunan rupiah, sebuah ekosistem predatoris yang menguntungkan jaringan perantara dan kontraktor besar, sementara semua risiko kesehatan dan finansial dilimpahkan kepada anak-anak dan pengusaha kecil.
Pengkhianatan Kontrak Keagenan
Mari kita bedah kebusukan ini dengan pisau analisis yang paling tajam: Teori Prinsipal-Agen. Dalam republik ini, Rakyat adalah Sang Prinsipal, pemegang kedaulatan mutlak. Pemerintah adalah Agen yang disewa dan dibayar dengan pajak rakyat untuk melaksanakan mandat. Kontraknya jelas dan tertulis dalam undang-undang. Program MBG adalah salah satu klausul dalam kontrak tersebut.
Namun yang terjadi adalah sebuah Agency Problem (Masalah Keagenan) dalam skala katastrofik-peristiwa buruk. Agen telah mengkhianati Prinsipal.
- Konflik Kepentingan yang Telanjang: Kepentingan Prinsipal adalah anak yang sehat dan cerdas. Kepentingan Agen, tampaknya, adalah mempertahankan anggaran raksasa, memperluas kekuasaan birokrasi, dan menjaga agar aliran dana tetap berjalan melalui saluran-saluran yang sudah mapan, tidak peduli betapa bocor dan berkaratnya saluran itu. Kepentingan untuk "menjalankan program" telah mengalahkan tujuan untuk "memberikan hasil".
- Asimetri-Ketidak Seimbangan-Informasi sebagai Senjata: Agen melaporkan "keberhasilan" berdasarkan metrik prosedural---jumlah porsi terdistribusi, penyerapan anggaran---sambil secara aktif menyembunyikan kebenaran busuk di lapangan. Mereka memegang semua data, sementara publik hanya diberi siaran pers yang telah disanitasi.
- Moral Hazard sebagai Norma:Â Karena mereka terisolasi dari konsekuensi---bukan anak mereka yang kejang-kejang karena keracunan, bukan pula modal mereka yang ludes karena tagihan tak terbayar---Agen bertindak dengan kelalaian yang sembrono. Mereka tahu, jika terjadi kegagalan, yang menanggung akibatnya adalah rakyat, bukan karir mereka.
Sikap "lanjutkan sambil evaluasi" adalah puncak dari pengkhianatan ini. Itu adalah upaya Agen untuk meyakinkan Prinsipal agar tidak membatalkan kontrak, sementara Agen terus menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan. Ini adalah cerminan sempurna dari Louis XVI yang berulang kali memecat menteri reformisnya setiap kali kaum bangsawan merasa terancam.
Pelanggaran Hukum yang Tak Terbantahkan
Pengkhianatan ini bukan sekadar kegagalan etis atau politik. Ini adalah pelanggaran hukum yang terang benderang, sebuah wanprestasi terhadap kontrak formal yang mengikat negara.
- Mandat yang Dikhianati - UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak: Pasal 21 undang-undang ini bukanlah sebuah saran, melainkan perintah. Negara, Pemerintah, dan Pemda "berkewajiban dan bertanggung jawab" untuk "memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Anak." Menyajikan makanan dari dapur yang 99% ilegal dan berpotensi beracun kepada anak-anak adalah antitesis dari kewajiban "melindungi". Ini adalah tindakan di mana negara, sang pelindung yang diamanatkan hukum, justru menjadi sumber bahaya.
- Keamanan yang Diabaikan - UU No. 18/2012 tentang Pangan: Undang-undang ini mewajibkan negara menjamin pangan yang "aman, bermutu, dan bergizi." Meluncurkan program pangan nasional dengan secara sadar mengabaikan kewajiban Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) adalah pelanggaran langsung terhadap inti dari undang-undang ini.
- Kelalaian Kriminal - Pasal 360 KUHP:Â Inilah argumen pamungkas yang tidak bisa dibantah. Pasal ini menyatakan, "Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka... atau sakit..." dapat dipidana. Ketika sebuah lembaga pemerintah mengetahui bahwa 99% dari operator lapangannya tidak memenuhi standar keamanan dasar, namun tetap memerintahkan program untuk berjalan penuh, dan akibatnya ribuan anak jatuh sakit, maka secara substantif, unsur "karena kesalahannya (kealpaannya)" telah terpenuhi. Ini mengangkat isu dari sekadar maladministrasi menjadi kelalaian yang berpotensi pidana.
Vonis dan Ultimatum