JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai pusaka bangsa kini berada di persimpangan jalan. Alih-alih menyehatkan, program ini justru telah meracuni ribuan anak. Alih-alih memberdayakan, ia mematikan warung ibu kantin dan menjebak UMKM dalam utang.
Pemerintah menawarkan pendekatan "lanjutkan sambil evaluasi", sebuah sikap yang oleh banyak pihak dianggap tidak cukup untuk mengatasi krisis yang sudah sistemik. Namun, ini bukan jalan buntu. Ada resep jitu untuk memperbaiki program ini, yang menuntut keberanian politik dan akal sehat, bukan sekadar perbaikan parsial.
Sebelum berbicara tentang masa depan, pemerintah harus menghentikan kerusakan yang terjadi saat ini. Solusi darurat ini bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
- Moratorium Total, Bukan Evaluasi Parsial:Â Desakan dari berbagai lembaga seperti JPPI dan CISDI sudah jelas: hentikan sementara program ini secara nasional. Melanjutkan program di mana 99% dari 8.583 dapurnya beroperasi secara ilegal tanpa Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) adalah tindakan yang sangat berisiko bagi kesehatan anak-anak. Ini bukan soal menyempurnakan, ini soal menghentikan bahaya aktif.
- Putus Rantai Perantara, Bayar Langsung ke Pelaku Usaha: Kasus vendor di Kalibata yang merugi hampir Rp1 miliar adalah bukti kegagalan model perantara yayasan. Solusinya sederhana dan sudah ada teknologinya: hapus semua perantara dan gunakan sistem pembayaran digital langsung ke rekening UMKM atau koperasi sekolah. Ini akan memotong celah penyelewengan dan memastikan uang negara sampai ke tangan yang berhak.
- Tegakkan Hukum yang Ada, Jangan Buat Aturan Baru: Pemerintah tidak perlu menciptakan aturan baru. Cukup tegakkan yang sudah ada. Wajibkan SLHS bagi semua dapur sebagai syarat mutlak, sesuai amanat Permenkes No. 1096/2011. Jika terjadi keracunan akibat kelalaian, gunakan Pasal 360 KUHP untuk menjerat pelakunya.101 Ini akan menciptakan efek jera yang nyata.
Solusi Jangka Panjang: Bangun Ulang Fondasi, Bukan Sekadar Renovasi
- Revolusi Dapur Sekolah:Â Dari Pusat ke Komunitas: Lupakan model dapur terpusat (SPPG) yang terbukti menjadi mimpi buruk logistik. Solusi idealnya adalah desentralisasi radikal. Berikan dana dan wewenang langsung kepada sekolah untuk memberdayakan kantin yang sudah ada. Dengan cara ini, pengawasan menjadi organik karena dilakukan langsung oleh orang tua dan guru. Uang negara pun benar-benar berputar di ekonomi akar rumput.
- Tiru yang Benar, Jangan Ciptakan Masalah Baru:Â Indonesia tidak perlu menemukan kembali roda. Belajarlah dari praktik terbaik dunia.
- Brasil: Tiru UU PNAE mereka yang mewajibkan minimal 30% bahan baku dibeli dari petani kecil lokal. Bentuk juga Dewan Pengawas di setiap daerah yang terdiri dari orang tua, guru, dan masyarakat sipil yang punya kuasa hukum untuk mengaudit dan menolak laporan jika ada penyelewengan.
- Jepang: Adopsi filosofi "Shokuiku". Jadikan makanan sebagai "buku teks hidup". Integrasikan program ini dengan kurikulum pendidikan untuk mengajarkan anak tentang gizi, budaya pangan lokal, dan pertanian. Ini akan mengubah program dari sekadar "bagi-bagi nasi kotak" menjadi investasi karakter jangka panjang.
- Anggaran Cerdas, Bukan Anggaran Rata Pukul:Â Hentikan kebijakan "satu harga untuk semua" yang tidak masuk akal. Harga cabai di Papua dan di Jawa jelas berbeda. Gunakan data Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) dari BPS sebagai model untuk menciptakan Indeks Biaya Pangan Lokal, sehingga anggaran per porsi disesuaikan dengan realitas harga di setiap daerah.
Pada akhirnya, pilihan ada di tangan pemerintah. Terus melanjutkan kebijakan tambal sulam yang membahayakan, atau memiliki keberanian untuk merombak total dan membangun program yang benar-benar aman, adil, dan cerdas. Rakyat kamu menunggu Bapak Presiden Prabowo.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI