JAKARTA -- Alkisah, Ken Arok, didorong ambisi besar untuk mendirikan dinasti, memesan sebilah keris sakti dari Mpu Gandring. Karena tak sabar, ia merebut keris yang belum sempurna itu dan menggunakannya untuk membunuh. Sang empu pun mengutuk: keris itu akan memakan korban tujuh raja, termasuk Ken Arok sendiri dan keturunannya.
Kini, di panggung kebijakan modern, sebuah "keris pusaka" baru telah ditempa dengan ambisi yang tak kalah besar: Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Tujuannya mulia, untuk menempa generasi emas Indonesia. Namun, seperti keris Mpu Gandring, program ini ditempa dalam ketergesa-gesaan politik, lahir dengan "cacat bawaan" yang kini mulai melepaskan kutukannya sendiri.
Kutukan Pertama: Ditempa Tanpa Aturan, Lahir Tanpa Pengaman
Setiap pusaka agung membutuhkan ritual dan aturan yang matang. Namun, keris MBG yang bernilai Rp71 triliun ini ditempa secara prematur. Program ini digulirkan secara masif bahkan sebelum memiliki payung hukum setingkat Peraturan Presiden (Perpres) yang kokoh. Ia hanya berbekal Surat Keputusan (SK) Deputi yang lemah, sebuah cacat lahir yang fatal.
Akibatnya? Kekacauan di lapangan. Tanpa aturan main yang jelas, program ini menjadi ajang improvisasi. Inilah kutukan pertama yang bekerja: sebuah senjata yang dirancang untuk ketertiban justru lahir dari kekacauan, membuka pintu bagi kutukan-kutukan berikutnya.
Kutukan Kedua: Pusaka yang Meracuni Tuannya Sendiri
Ken Arok menggunakan kerisnya untuk membunuh. Ironisnya, keris MBG, yang seharusnya memberi kehidupan, justru mulai memakan korban. Rentetan kasus keracunan massal menjadi bukti paling mengerikan dari kutukan ini. Ribuan anak, dari Bogor hingga Bandung Barat, menjadi korban setelah menyantap "pusaka" dari negara.
Penyebabnya adalah kelalaian sistemik yang lahir dari penempaan yang tergesa-gesa. Dari 8.583 dapur yang beroperasi, hanya 34 yang bersertifikat laik higiene. Makanan dimasak semalam suntuk untuk dibagikan siang hari, menjadi surga bagi bakteri E.coli dan Salmonella. Keris yang seharusnya menyehatkan, kini berbalik meracuni anak-anak bangsa yang seharusnya ia lindungi.
Kutukan Ketiga: Membunuh Kawan, Mengkhianati Sekutu
Dalam legendanya, Ken Arok mengorbankan Kebo Ijo untuk menutupi jejaknya. Dalam drama MBG, yang dikorbankan adalah para sekutu ekonomi paling kecil: ibu-ibu kantin sekolah dan UMKM lokal.
Program ini, alih-alih memberdayakan, justru menjadi mesin pembunuh bagi mereka. Omzet pedagang kantin anjlok hingga 70%. Mereka yang puluhan tahun menghidupi keluarga dari berjualan nasi dan lauk, kini hanya bisa pasrah melihat lapaknya sepi.
Sementara itu, UMKM yang dipercaya menjadi mitra justru dikhianati. Skema pembayaran reimbursement---talangi dulu, tagih kemudian---adalah jebakan maut. Laporan vendor yang merugi hingga hampir Rp1 miliar karena pembayaran tak kunjung cair menjadi bukti nyata. Keris ini tidak hanya melukai musuh, tetapi juga menikam dari belakang para prajuritnya sendiri.
Mematahkan Kutukan: Akankah Para Raja Bijaksana?
Kutukan keris Mpu Gandring terus berlanjut karena setiap raja pewaris takhta lebih memilih menggunakan kekuatan keris itu daripada memikirkan cara mematahkan kutukannya. Program MBG kini berada di tangan para "raja" kebijakan.
Melanjutkan program ini dengan cara tambal sulam dan "evaluasi sambil jalan" Â sama saja dengan mewariskan keris terkutuk ini ke generasi berikutnya, membiarkan kutukan inefisiensi, keracunan, dan ketidakadilan terus memakan korban.
Satu-satunya cara mematahkan kutukan ini adalah dengan keberanian untuk mengakui bahwa keris ini ditempa dengan cacat. Hentikan penggunaannya, dan tempa ulang dari awal dengan fondasi hukum yang kuat, tata kelola yang transparan, dan model yang memberdayakan ekonomi rakyat, bukan membunuhnya.
Pertanyaannya kini sederhana: akankah para pemegang kebijakan saat ini memiliki kebijaksanaan yang tidak dimiliki Ken Arok dan keturunannya? Ataukah mereka akan terus menggenggam erat keris terkutuk ini, hingga ia benar-benar menuntaskan kutukan tujuh turunannya pada bangsa ini?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI