JAKARTA -- Alkisah, pemerintah mempersembahkan sebuah hadiah megah untuk rakyatnya: sebuah "Kotak Pandora" bernama Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Kotak ini berkilauan, dihiasi janji generasi emas, perut kenyang, dan ekonomi yang berputar kencang. Dengan penuh semangat, tutupnya pun dibuka. Namun, alih-alih anugerah, yang keluar adalah kawanan bencana yang kini menghantui negeri.
Inilah kisah satir tentang bagaimana sebuah niat baik, ketika dieksekusi dengan ambisi buta dan logika yang bengkok, justru melepaskan malapetaka.
Yang pertama kali melesat keluar dari kotak adalah Momok Anggaran. Pemerintah mengalokasikan dana fantastis Rp71 triliun (Rp171 triliun), yang dengan cepat membengkak dalam berbagai proyeksi. Namun, ironi terbesarnya ada di sini: anggaran ini secara bersamaan terlalu besar untuk APBN, namun terlalu kecil untuk sepiring makanan layak.
Dengan anggaran per porsi yang dipangkas hingga sekitar Rp10.000, saya bertanya-tanya: sihir apa yang bisa menyulap uang sekecil itu menjadi nasi, lauk bergizi, sayur, buah, dan susu, terutama di daerah dengan harga selangit?. Inilah ilusi anggaran: sebuah angka raksasa di tingkat nasional yang menciut menjadi angka mustahil di tingkat piring, membuka jalan bagi bencana berikutnya.
Menyusul di belakangnya adalah Labirin Logistik. Bayangkan tugas mustahil mengirim puluhan juta porsi makanan setiap hari ke 17.000 pulau. Rantai pasok yang panjang dan rumit ini terbukti menjadi jalur tol bagi bakteri dan kebusukan.
Hasilnya? Program ini dengan cepat mendapat julukan sinis dari masyarakat: "Makan Basi Gratis". Rentetan kasus keracunan massal menjadi berita rutin di berbagai daerah, dari Jawa Barat hingga Sulawesi. Anak-anak yang dijanjikan gizi justru berakhir di ruang gawat darurat. Ini bukan kecelakaan, ini adalah hasil yang dapat diprediksi ketika skala proyek mengalahkan akal sehat logistik.
Dari kekacauan logistik, lahirlah Hidra Korupsi. Program dengan dana raksasa dan pengawasan yang lemah adalah surga bagi para pemburu rente. Namun, kepala hidra yang paling kejam adalah yang memangsa rakyat kecil.
Janji pemberdayaan UMKM berubah menjadi lelucon pahit. Ibu-ibu kantin yang puluhan tahun menghidupi keluarga kini menatap lapak kosong, omzet mereka anjlok hingga 50%. Sementara itu, para vendor UMKM yang nekat bergabung justru terjerat dalam skema pembayaran reimbursement---sebuah sistem "talangi dulu, tagih kemudian" yang membuat mereka menjerit. Laporan vendor yang tak dibayar hingga miliaran rupiah menjadi bukti nyata bagaimana program ini, alih-alih memberdayakan, justru menjebak dan mematikan usaha kecil.
Dan yang terakhir, yang paling halus namun paling merusak, adalah Kutukan Ketergantungan. Program ini secara perlahan mengikis tanggung jawab fundamental keluarga dan menanamkan budaya pasif menunggu uluran tangan negara. Dalam upaya menyembuhkan stunting fisik, kita berisiko menciptakan "stunting mental"---sebuah generasi yang terbiasa disuapi, bukan berjuang.
Lalu, di Mana Harapan?
Mitos mengatakan, di dasar Kotak Pandora, tersisa satu hal: Harapan. Dalam kasus MBG, harapan itu adalah generasi masa depan yang sehat dan cerdas. Namun, harapan itu kini tampak terperangkap di dasar kotak, terkubur di bawah tumpukan makanan basi, tagihan utang vendor, dan ilusi anggaran.
Rakyat kini menatap kotak yang sudah terbuka lebar, bertanya-tanya: apakah harapan itu nyata, atau hanya sisa remah terakhir dari janji yang telah basi?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI