Mohon tunggu...
Mulla Kemalawaty
Mulla Kemalawaty Mohon Tunggu... -

Penulis merupakan staf di Politeknik Indonesia Venezuela (Poliven) yang berlokasi di Cot Suruy, Aceh Besar

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Masjid Putra, Putrajaya

9 Februari 2014   13:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:00 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_321480" align="alignleft" width="300" caption="Bu Endang and Me"][/caption] Ketika menyambangi Suria KLCC, Kuala Lumpur, November silam, ada sebuah lorong yang berisi gambar tempat-tempat wisata di Malaysia. Aku menatap lekat-lekat sebuah gambar masjid cantik berwarna merah bata, yang belakangan kuketahui bernama Masjid Putra. Kala itu, aku tidak sempat mengunjungi masjid yang terletak di Putrajaya tersebut, dan hanya memendam keinginan tersebut rapat-rapat. Berbulan-bulan setelah itu, kesempatan untuk mengunjungi Masjid Putra akhirnya datang juga. Alhamdulillah. Di bulan mulia, yang kedatangannya ditunggu jutaan umat muslim dunia: Ramadan. Adalah keluarga Pak Rizal –teman suamiku- yang telah sudi berbaik hati mengantarkanku ke masjid impian tersebut. Berangkat dari Sungai Tangkas, Bangi, pukul lima sore dan sempat terjebak macet, kami tak punya banyak waktu. Hanya berbilang menit. So, rencananya kami hanya melintasi masjid itu sepintas lalu saja. Kami turun di lapangan depan Gedung Perdana Mentri Malaysia, yang tadinya kukira masjid. Kubah dengan warna hijau tosca yang membuatku beranggapan demikian. Sayangnya, karena kamera ketinggalan di rumah Ihsan, jadi aku hanya bisa mengabadikan lewat Blackberry kesayanganku saja. Karena hape jadul, jadinya agak “blur”. [caption id="attachment_321482" align="alignright" width="300" caption="Gerbang Masjid"]

1391927579697197303
1391927579697197303
[/caption] Setelah foto-foto, kukira kami akan kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan. Namun dugaanku salah. “Bu Mala, kita ke Masjid Putra dulu yuk,” seru Bu Endang, istri Pak Rizal. “Masjid Putra? Di mana?” aku keheranan. “Di sebelah sana, Bu,” tunjuk Mbak Endang. Aku mengikuti arah tangan Bu Endang.  Rupanya Masjid Putra bersebelahan dengan Gedung Perdana Mentri Malaysia. Kami berjalan hingga ke pelataran masjid. “Di mana masjidnya, Bu?” tanyaku seraya mencari-cari. “Masih ke dalam lagi, Bu,” jawab Bu Endang. Oalah. Aku celingak-celinguk menatap ke depan. Masih ada beberapa puluh meter lagi. Ya ampun, masih jauh perjalanan ternyata. Semangatku langsung surut. Enggak usah ke sana ajalah. Terus terang aku agak lelah karena pagi tadi kami sempat rawun-rawun keliling Kuala Lumpur. Sudah sempat istirahat sebentar, namun aura kelelahan itu masih tetap melekat agaknya. [caption id="attachment_321483" align="alignleft" width="300" caption="Tulisan Arab dan Hiasan Lampu"]
139192765855981630
139192765855981630
[/caption] Tiba-tiba Bu Endang duduk di sebuah sudut. Lho? “Bu, maaf ya saya enggak bisa nemenin. Ibu kalo mau masuk, masuk aja ya,” kata Bu Endang. Lalu beliau menyuruh anaknya untuk menemaniku. Kutatap wanita di depanku. Dalam keadaan hamil tiga bulan, dengan empat orang anak yang masih kecil-kecil, dan tetap berpuasa. Beliau bersedia dan penuh semangat mengantarkanku.  Buncah keharuan segera saja memenuhi relung jiwa. Walaupun lelah, beliau sangat ingin diriku menikmati keindahan Masjid Putra. Setidaknya, memotretnya. “Oh iya Bu,” sahutku dengan suara yang disemangat-semangatin. Kalau aku ogah-ogahan kasihan Bu Endang, yang sudah bela-belain mengantarkanku. Aku maju beberapa langkah dan berusaha memotret Masjid Putra dari tempatku berdiri, namun tidak berhasil karena terhalang. Beberapa meter di depanku tampak sebuah dinding yang menghalangi masjid. Daripada putus asa, kufoto saja pintu gerbang itu. Indah juga ternyata. Di sebelah atasnya tertera huruf Arab yang dihiasi lampu-lampu. Jadi serasa berada di Arab nih (walaupun belum pernah). Di dekat pintu gerbang tampak berdiri dengan gagahnya beberapa orang pemuda berpakaian Teluk Belanga, pakaian khas Malaysia. Resmi sekali. Aku memandang dengan penuh keheranan. Kok seperti orang pesta pernikahan ya, pakai penerima tamu segala, pikirku. [caption id="attachment_321484" align="alignright" width="300" caption="Tahniah"]
1391927764523039622
1391927764523039622
[/caption] “Kalau mau motret masjidnya harus dari depan sana, Bu,” kata Bu Endang. Oalah. Kepingin motret masjid aja kok berat banget ya perjuangannya, batinku. Jadi aku harus melewati pintu gerbang itu dulu, barulah sosok Masjid Putra bisa kupotret secara utuh. Demi agar tidak mengecewakan Bu Endang, akhirnya aku mengikuti saran beliau. Motret doang, habis motret pulang, terpancang niat demikian. Aku berjalan menuju pintu gerbang. Di sebelah kananku, tampak beberapa spanduk berwarna-warni. Aku menghentikan langkah dan membaca spanduk-spanduk itu. Spanduk pertama bertuliskan Tahniah Masjid Putra di Atas Penganugerahan Sijil Sijil?  Maksudnya apa ya? Mau bertanya dengan Bu Endang tapi aku sudah lumayan jauh berjalan. Nanti sajalah. Oh, berdasarkan info dari Bang Mat Noor dari Malaysia, Tahniah itu artinya Selamat, sedangkan Sijil artinya certificate. Makasih infonya ya Bang Mat Noor. [caption id="attachment_321485" align="alignleft" width="300" caption="Aneka Kegiatan"]
13919278491453078185
13919278491453078185
[/caption] Spanduk kedua bertuliskan: Marilah kita mengimarahkan Masjid Sepanjang Ramadan 1434 H. Keningku berkerut membaca kata “mengimarahkan”. Mungkin maksudnya “meramaikan” ya. Di bawahnya tertulis: -    Sholat Tarawih bersama Imam Hafiz -    Jamuan Berbuka Puasa dan Moreh -    Kuliah Zohor -    Ceramah Nuzul Al-Quran -    Majlis Khatam Al-Quran -    Iktikaf -    Kaunter zakat fitrah -    Kuliah Pengajian Umum -    Takbir dan Solat Tasbih Malam Hari Raya Wah, banyak ya kegiatannya. Tiba-tiba batinku dicekam kerinduan. Kerinduan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan dalam spanduk itu. Izinkan aku ya Rabb, seulas pintaku lirih mengiris kalbu. [caption id="attachment_321486" align="aligncenter" width="1600" caption="Masjid Putra, Impianku"]
1391927946336109481
1391927946336109481
[/caption] Setelah itu aku berjalan menuju gerbang. Di gerbang, barulah tampak sosok Masjid Putra secara utuh. Alhamdulillah. Tanpa membuang masa, segera kupotret masjid impianku dengan segala suka cita. Selesai memotret, sedianya aku akan berbalik kanan ke tempat Bu Endang. Namun batinku kembali bergolak. Lalu aku menatap ke arah masjid, tertegun melihat betapa jauhnya jarak yang harus kutempuh. “Masuk atau enggak ya...” “Yang penting kan udah liat masjidnya, ngapain masuk?” “Harus masuklah, emang enggak penasaran liat dalamnya?” Sementara perang dalam batinku terus berkecamuk, aku melihat bonsai bulat-bulat. Bunganya yang ungu kecil-kecil menarik perhatianku. Cantik nian pohon ini. Adanya bonsai bulat ini membuat suasana masjid menjadi bertambah asri. Dihembus angin sore, duduk-duduk di pelataran masjid merupakan pilihan yang tepat untuk menghibur hati. Bisa jadi pilihan untuk “ngabuburit” juga kali ya. Lalu aku memandang jauh ke luar. Jembatan Sri Saujana tampak di kejauhan. Juga gedung-gedung pemerintahan. Ternyata masjid ini dikelilingi oleh air! Jadi serasa masjid terapung nih. Padahal bukan. Masjid Putra bersisian dengan danau, bukan di atas danau. Hebat, hebat. Tanpa terasa, aku sudah sampai di depan masjid. Di dekatku, tampak mobil boks bertuliskan “Ishak Carterers”. Aku teringat supirku yang bernama Ishak. Wah hebat bener dia punya catering di Malaysia, batinku geli. Di teras masjid kulihat beberapa “penerima tamu” berseliweran. Para panitia pun hilir-mudik mempersiapkan acara berbuka puasa. Duh, jadi kepingin buka puasa di sini saja, deh. Sampai di sini aku memutuskan untuk masuk, didorong oleh rasa ingin tahu yang membuncah. Lha wong sudah di depan pintu, gimana nggak mau masuk. Segera kupercepat langkah. Setelah membaca doa masuk masjid dan melangkah dengan kaki kanan, terasa lembutnya karpet empuk mengelus kakiku. Subhanallah, karpetnya empuk sangat. Dan  wajahku dibelai oleh sejuknya air conditioner. Wah, masjid ini ber-AC! Rasa penat ,empuknya karpet dan dinginnya AC memaksaku untuk duduk. Kulihat beberapa jamaah wanita sedang menunaikan sholat. Aku heran, sholat apa ini? Bukankah asar sudah lewat? Dan magrib belum lagi tiba. Oh, mungkin sholat tahiyatul masjid, aku mencoba untuk berpikir positif. Jamaah wanita dan jamaah pria dipisahkan oleh sekat dari kayu. Di belakang jamaah wanita, ada lokasi berbentuk segiempat bertuliskan “Ruang Sholat Kanak-kanak”. Ya, supaya tidak mengganggu kekhusyukan jamaah, anak-anak ditempatkan di belakang. Tapi nanti, siapa yang jaga? Dan siapa yang bisa menjamin anak-anak kecil tidak berlari-larian? Oh mungkin ini diperuntukkan untuk anak-anak yang sudah agak besar, tujuh tahun ke atas. Di antara jamaah, aku melihat sekelompok wanita bertampang Arab memakai jubah berwarna merah. Peraturan untuk memasuki masjid dan sekitarnya, wajib memakai busana muslimah. Jika tidak, pihak masjid menyediakan jubah untuk menutup aurat. Dan untuk turis yang beragama non muslim, hanya boleh memasuki pelataran masjid saja, tidak boleh masuk ke dalam masjid. Dan mereka juga diberi jubah berwarna merah jambu. Aku mendongak dan tampaklah kubah yang sangat besar, berhiaskan ukiran-ukiran. Cantik sangaaat. Dan bagaimana dengan mihrab? Tiba-tiba aku ingiiin sekali melihat mihrab. Aku maju ke depan sekali untuk mencapai mihrab. Dan tiba-tiba aku tersungkur, Saudara-saudara. Melihat keindahan dan kemegahan mihrab, hatiku bergetar, aku merasa kecil, keciiiil sekali. Masjid ini, dunia beserta segala isinya, adalah milik Allah Azza wa Jalla. Diriku yang hina ini hanyalah setitik debu di antara Kursi Allah.  Aku bersujud dan meluahkan segala rasa. Kutumpahkan tangisku di sana, memohon ampun atas dosa-dosaku. Ingin aku berada lebih lama lagi di sini, bahkan kalau bisa, aku ingin sholat di sini. Tapi waktu tidak memungkinkan. Jikalau Allah mengizinkan, dengan perkenan-Nya. Aku ingin kembali lagi ke sini. Bermunajat lebih lama, merenungi segala dosa-dosaku. Izinkan aku ya Rabb. Aku bergegas berdiri, kuatir Bu Endang telah lama menungguku. Di luar masjid, Fathiya –anak Bu Endang- berlari-lari menyongsongku. “Bu Mala, udah ditunggu Ummi,” katanya sambil terengah-engah. Ya ampun. Aku pun segera mempercepat langkah. Terimakasih ya Rabb. Atas segala Qudrat dan Iradat-Mu. Atas segala Kuasa dan Kehendak-Mulah aku bisa sampai di tempat ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun